ecclesia reformata semper reformanda

WELCOME

Selamat datang
All of you are invited!!!

blog ini berisikan tentang renungan saya dalam kehidupan sehari-hari
selain itu ada beberapa karya ilmiah saya pada saat saya studi di sekolah teologi.

Semoga mendapatkan berkat melalui blog ini
Tuhan memberkati
HI FRIENDS, WELCOME TO MY BLOG.. I HOPE YOU LIKE IT..GBU ALWAYS

Minggu, 17 April 2016

Gereja Sebagai Sahabat

JADILAH SAHABAT

Apa itu Gereja?  Biasanya dengan nyanyian yang kita tahu dari sekolah minggu, “gereja adalah orangnya.”  Di dalam KBBI, gereja itu disebut sebagai sebuah tempat berdoa umat Kristen atau badan umat  yang sama kepercayaan, ajaran, dan tata cara ibadahnya.  Melalui penjelasan ini kita dapat melihat bahwa gereja dipandang bukan hanya sebuah gedungnya, sebuah tata ibadahnya, melainkan gereja adalah sebuah komunitas.
Gereja sebagai sebuah komunitas.  Komunitas berasal dari kata Komuni (dalam bahasa Inggris: communion, dari bahasa Latin: communio yang berarti "berbagi bersama").  Gereja sebagai sebuah komunitas bisa dilihat pada saat Kristus melakukan perjamuan malam terakhir.  Perjamuan malam terakhir adalah saat Yesus berkomunitas (berbagi bersama) dengan para muridnya.  Yesus berbagi roti yang dilambangkan tubuhNya, dan berbagi anggur yang dilambangkan darahNya.  Gereja adalah tempat berbagi dan seharusnya gereja menjadi titik awal berbagi kepada dunia ini.
Akan tetapi, permasalahannya adalah gereja sudah menjadi seperti bisnis yang terselubung.  Pemikiran-pemikiran dalam gereja mulai dirasuki pola pikir untung dan rugi.  Pola pikir itu tanpa kita sadari sudah menjadi
1. Sebuah acara tidak didatangi banyak orang berarti acara itu tidak sukses.
2. Bagaimana membuat orang (domba) lain dapat menjadi anggota gereja kita
3. Bagaimana kegiatan kita dapat didatangi banyak orang lalu diliput oleh media massa
4. Daerah tersebut ada gereja bukan dari aliran kita, maka kita wajib membuka supaya kita tidak kehilangan anggota (pasar)
Contoh-contoh di atas dapat bertambah banyak jika akhirnya kita melihat gereja sebagai sebuah institusi yang mencari profit semata.  Ukuran kesuksesan sebuah kegiatan akhirnya disamakan menjadi sama dengan dunia bisnis.  Pertanyaannya jika ada satu orang yang berubah dari acara yang tidak mendatangkan banyak orang tersebut, apakah acara tersebut sukses?  Jika kita kembali kepada core business gereja adalah “terjadinya sebuah perjumpaan dengan Tuhan.”  lalu bagaimana gereja jangan sampai terjebak dalam pola pikir untung rugi? Apa yang harus dilakukan gereja sebagai komunitas dimana komunitas tersebut terjadi sebuah perjumpaan dengan Tuhan?

Gereja sebagai Sahabat
Pola pikir bergereja yang dapat diusulkan dapat berupa sebuah proses persahabatan. Gereja sebagai komunitas dimana adanya sebuah proses berbagi bersama dapat dilakukan jika kita bersahabat dengan sesama manusia.  Pdt. Suatami Sutedja pernah memberikan wejangan terhadap saya pada saat mau menjadi seorang pendeta, beliau berkata “David kamu tidak boleh punya sahabat di dalam gereja, melainkan kamu harus bersahabat kepada semua orang.”  Gereja sebagai sahabat adalah gereja yang menawarkan hospitality (keramah-tamahan) bukan hanya kepada orang tertentu saja melainkan kepada semua orang tanpa terkecuali.
Menurut Joas Adiprasetya manusia diciptakan menurut gambar Allah, maka Allah Tritunggallah yang menjadi citra atau gambar umat manusia.  Allah Tritunggal itu sendiri adalah Allah persekutuan, Allah yang menjadi persahabatan ilahi sebagai karakter utamanya. Gereja pada gilirannya harus menjadi citra utama dari persahabatan ilahi itu, karena gereja, bahkan seluruh ciptaan, diundang untuk berpartisipasi ke dalam persekutuan ilahi tersebut.
Cara pandangan trinitaris inilah, ketiga, yang menjadi dasar bagi pemaknaan gereja sebagai persekutuan (koinonia). Koinonia adalah sebuah persekutuan cintakasih para sahabat Kristus, di mana kesetaraan menjadi nilai utamanya.  Dengan kata lain, gereja sebagai sebuah komunitas menjadi gereja yang merangkul “the other” sehingga mengalami kasih Trinitas di dalam sebuah persekutuan.
Mengapa gereja yang bersahabat? Di dalam Yohanes 15:15 dikatakan “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat”. Yesus menjadikan para murid jauh melampaui kategori pelayan yang seringkali adanya sebuah hierarki tuan-pelayan.  Yesus menawarkan sebuah model baru yaitu menjadi sahabat dimana tidak adanya hierarki melainkan sebuah kesetaraan.  Adiprasetya dalam beberapa makalahnya mengkritisi konsep servant-leader yang menurutnya, ada sebuah jebakan dalam konsep tersebut sehingga menjadi konsep pelayan yang bersikap tuan.
Menurut Joas Adiprasetya ada tiga wajah dalam hierarki di gereja
1. “Klerikarki” (clericarchy) atau pemerintahan oleh klerus. Pejabat gerejawi dipandang sebagai yang berwewenang menentukan nasib dan masa depan (serta masa kini) gereja.
2. “Gerontarki” (gerontarchy), yaitu pemerintahan oleh orang tua. Anak-anak muda dianggap sekadar sebagai pemimpin masa depan dan bukan pemimpin masa kini.
3. “Patriarki” (patriarchy) atau pemerintahan oleh bapa atau laki-laki. Perempuan dianggap tidak layak untuk menjadi pemimpin.

Yesus pernah mengecam hierarki semacam ini dan mengusulkan sebagai struktur-tandingan, dengan berkata pada para murid-Nya,42 Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. 43 Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, 44 dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. (Mrk. 10:42-44) Dengan menandaskan di awal ayat 43, “Tidaklah demikian di antara kamu,” Yesus ingin membenturkan dua struktur yang secara frontal berlawanan, yaitu hierarki dan doularki (hierarchy dan doularchy). Yang terakhir ini—dari kata doulos: hamba; arche: kepemimpinan—berarti kepemimpinan-hamba (servant-leadership). Jelas struktur tandingan ini memang berfungsi sebagai tandingan.
Artinya, ia bertenaga jika ada lawannya. Anehnya, ketika lawannya raib, maka hilang pulalah kekuatan dari struktur kepemimpinan-hamba ini. Dan dengan segera ia dapat berubah mempraktikkan apa yang tadinya ia lawan, yaitu hierarki. Maka kepemimpinan-hamba tidak boleh dilestarikan sebagai model ideal, karena memang sifatnya ad-hoc. Sayangnya, itulah yang terjadi. “pelayanan,” “pelayan,” “melayani” dan sebagainya sudah menjadi kosakata gerejawi yang dengan mudah berkurang makna, hilang makna, atau lebih parah lagi sesat makna. Situasi sesat makna ini muncul ketika justru doularki menjadi sosok atau topengnya dengan hierarki sebagai ruh atau wajah aslinya.
Konsep (yang mungkin) menjadi hierarki keempat adalah saat konsep doularki yang aslinya baik menjadi hierarki.  Permasalahan ini dapat timbul saat pelayan-pelayan merasa mempunyai power untuk melakukan ataupun memutuskan sesuatu.  Inilah saat sang pelayan menjadi bos bagi para pelayan yang lain.  Jebakan ini dapat terjadi di dalam gereja jika sang pelayan tidak lagi memancarkan kasih Kristus.  Pola ini pun terjadi tanpa kita sadari karena sudah menjadi “kebiasaan” yang benar. Contoh menurut Adiprasetya adalah pola hierarki laki-laki atas perempuan dalam kehidupan domestik di rumah diberlakukan juga di gereja, sehingga perempuan hanya diberi peran yang mirip dengan peran domestik.  Tata-letak dalam acara-acara gerejawi menunjukkan si pelayan (entah pendeta atau penatua) justru menempati posisi terhormat, kadang dengan jenis kursi yang berbeda.
Sebuah alternatif sangat menarik ditawarkan oleh Adiprasetya, yaitu teologi persahabatan.  Gereja menjadi tempat beramah-tamah tanpa ada sekat-sekat hierarki termasuk konsep pelayan-tuan.  Yesus menunjukkan sebuah kualitas seseorang yang mengasihi sahabatnya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Sebuah konsep filiarki Kasih persahabatan.
Berbeda dari hierarki dan doularki yang bersifat vertikal, filiarki bersifat horisontal. Tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Tidak ada yang memaksa diri merendah dan menuntut diri ditinggikan. Semua setara di hadapan Kristus, Sang Kasih dan Sang Sahabat, yang menjadi pusatnya.   Menjadi umat yang bersahabat dengan semua orang.

APA YANG HARUS DILAKUKAN GEREJA?
Bagaimana gereja harus bersikap? Sesuai dengan tema kita “jadilah sahabat” marilah kita paparkan bagaimana kita menjadi sahabat bagi sesama kita.  Apa yang membuat kita dapat menjadi sahabat bagi sesama kita?  Salah satu yang harus dilakukan adalah dengan mengembangkan sikap ramah-tamah.  Sebuah sikap dalam diri yang tidak mementingkan diri sendiri namun dapat bersahabat dengan semua orang. Seperti yang Paulus tuliskan “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani [budaya dan etnis], tidak ada hamba atau orang merdeka [ekonomi dan sosial], tidak ada laki-laki atau perempuan [gender], karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28).
Salah satu inspirasi dalam mengembangkan sikap bersahabat adalah mengembangkan tiga sikap ini yaitu Share, Care, and Joy (Berbagi, berempati, dan bersukacita).
1. Share (berbagi).  “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Yesus berbagi terhadap sesamaNya bahkan nyawaNya untuk menyelamatkan umat manusia.  Marilah ingatlah prinsip komunitas (berbagi sesama).  Konsep berbagi ini berarti melepaskan ego dalam diri sendiri.
2. Care (berempati).  Menjadi sahabat berarti haruslah berempati kepada sesamanya.  Di dalam Matius 14:14 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka.  Yesus berbelas kasihan atau berempati terhadap sesamanya.  Di dalam Matius 14:16 “Tetapi Yesus berkata kepada mereka: "Tidak perlu mereka pergi kamu harus memberi mereka makan.”  Menjadi sahabat berarti haruslah berempati terhadap sesama manusia dengan melakukan sebuah tindakan.
3. Joy (Bersukacita).  Menjadi sahabat haruslah dapat bersukacita dan membuat suasana sukacita di dalam kehidupan bergereja.  Sebuah suasana sukacita adalah hasil dari tindakan berbagi dan berempati terhadap sesama.

Gereja sebagai sahabat?
kutipan dari buku Karen Main berjudul Open Heart, Open Home.
“We think in terms of entertaining as a woman’s chance to demonstrate her skill and the quality of her home, when actually entertaining has little to do with real hospitality. Entertaining says, “I want to impress you with my beautiful home, my clever decorating, my gourmet cooking.” Hospitality, however, seeks to minister. It says, “This home is not mine. It is truly a gift from my Master. I am His servant, and I use it as He desires.” Hospitality does not try to impress, but to serve.
Entertaining always puts things before people. “As soon as I get the house finished, the living room decorated, my place settings complete, my housework done–then I will start having people in.” Hospitality, however, puts people before things. “We have no furniture; we’ll eat on the floor.” “The decorating may never get done. Please come just the same.”
Entertaining subtly declares, “This is mine–these rooms, these adornments. These are an expression of my personality. It is an extension of who and what I am. Look, please and admire.” Hospitality whispers, “What is mine is yours.”

Daftar bacaan
Makalah Pdt. Joas Adiprasetya mengenai teologi persahabatn
Bahan visi dan misi GKI Kebonjati