Hari ini aku diajak oleh keluargaku ke sebuah tempat yang luas. Pagi-pagi hari mereka sudah membangunkanku untuk mempersiapkan diri. Ibuku sibuk untuk menyiapkan bekal untuk kami makan nanti. Lalu, aku pun melangkahkan kakiku untuk mandi membersihkan diri. Setelah membersihkan diri, akupun mengambil pakaian yang akan kupakai nanti. “Ayo sarapan dulu nak”, terdengar panggilan ibuku untuk mengajakku makan. Kemudian kami pun menikmati makanan dan tentu tidak lupa kami memulainya dalam doa untuk memanjatkan syukur kepada Tuhan Sang Pencipta.
“Ayo nak kita berangkat,” ujar ayahku kepadaku.
“Memangnya kita mau kemana ayah?” tanyaku.
“Ya nanti kamu akan tahu, kita harus cepat karena pasti akan banyak orang,” ujar ayahku sambil memegang tanganku.
“Baik ayah ...,” kataku.
“Bu, ayo cepat ...,”panggilan ayah kepada ibu yang sedang menutup pintu rumah.
Perjalanan kami cukup jauh dan matahari pun bersinar dengan teriknya. “fyuhh panasnya ...,” ujarku dalam hati. Dalam perjalanan itu aku melihat raut wajah ayahku sungguh bersemangat, entah apa yang ada di benaknya sehingga wajahnya seperti itu.
“Ayah, sebenarnya kita mau kemana sih?” kembali tanyaku dengan penasaran.
“Kita akan melihat seseorang yang luar biasa,” ujar ayahku.
“Orang ini dapat melakukan perbuatan yang besar,” tambah ibuku.
“Wow ...,” ujarku kepada mereka.
Kemudian tibalah kami di hamparan padang rumput yang luas, dan aku melihat banyak sekali orang-orang yang berbondong-bondong untuk datang ke tempat itu. “Ayo kita ke depan bu,” kata ayah kepada Ibu sambil menarik tanganku untuk mengikuti mereka berdua. Matahari yang sangat terik tidak menghalangi orang-orang untuk datang ke tempat ini. Aku pun melihat orang-orang yang buta juga datang ke tempat ini, ada seseorang yang membawa orang yang lumpuh mungkin sanak saudaranya, aku pun melihat anak-anak sebayaku yang juga diajak oleh orang tuanya. Aku melihat padang rumput ini menjadi seperti lautan manusia. Timbullah pertanyaanku kembali “memangnya siapa yang mereka cari sehingga banyak orang yang hadir disini?”
“Ayo bu, di sini tempat yang tepat untuk melihat dan mendengarnya,” kata ayahku kepada Ibuku.
“Baik ayah, semoga kita bisa melihatnya dengan jelas,” kata ibuku.
“Guru, apa yang harus kita lakukan? Banyak orang disini,” kata seorang laki-laki kepada seorang yang raut wajahnya menunjukkan ketenangan.
“Roti seharga dua ratus dinar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka,” timpal orang yang kedua.
Memang pada saat itu matahari bersinar terik, dan memang waktu itu bertepatan dengan jam makan siang. Akupun melihat banyak orang yang tidak membawa bekal untuk memenuhi kebutuhan mereka, ada juga seorang yang membawa bekal tapi tidak mau membagikannya kepada sesamanya. “Guru, apa yang harus kita lakukan???” seseorang berteriak karena panik.
“Ayah, mereka sedang apa?”tanyaku kepada ayahku.
“Sepertinya mereka sedang kebingungan karena tidak bisa menyediakan makanan yang cukup untuk orang banyak, beruntung kita menyiapkan bekal,” kata ayahku kepadaku.
“Iya, salah mereka tidak mau menyiapkan bekal ...,” kata ibuku sambil menunjuk orang banyak.
Lalu akupun teringat akan kata-kata seorang ahli Taurat saat membacakan kitab Taurat di sebuah Sinagoge. “Kasihilah sesamamu manusia ...,” kira-kira seperti itulah kata-kata yang aku ingat saat aku belajar kitab Taurat di Sinagoge.
“Ayah kita harus menolong mereka,” ujarku kepada ayah.
“Menolong? Maksudmu bagaimana?” tanya ayahku kepadaku.
“Saya mau menyerahkan bekal kita kepada mereka ...”
“Ehhh, jangan ... nanti kita makan apa lagipula apa gunanya lima roti dan dua ikan untuk diberikan kepada orang banyak ini?” kata ibuku sambil menghalangiku.
“Lhoo, tadi ibu berkata kepada saya bahwa orang ini dapat melakukan perbuatan besar? Mengapa sekarang tidak yakin lagi?” Kataku kepada ibuku.
“Iya memang dia dapat melakukan perbuatan besar, tapi nanti kita bisa kelaparan,” tambah ayahku.
“Ayah dan ibu, bukankah di dalam ajaran kita diajarkan untuk mengasihi manusia seperti diri sendiri? Oleh karena itu saya mau memberikan bantuan ...,” tegasku.
Akhirnya ayah dan ibu merelakan diriku untuk bangkit dan berdiri. “Bapak-bapak, saya punya lima roti dan dua ikan,” teriakku kepada seseorang murid dari orang itu. “Guru, ini ada seorang anak yang mau memberikan lima roti dan dua ikan,” kata seseorang kepada gurunya. “Kemarikanlah,” kata orang itu. Lalu aku melihatnya berdoa dan mulai memecah-mecah roti dan membagikan kedua ikan. “Luar biasa,” kataku dalam hati, orang itu terus menerus memecahkan roti dan akhirnya dapat dipenuhilah kebutuhan makanan orang banyak.
“Ayah, siapa orang itu?” tanyaku kepada ayah.
“Nama-Nya adalah Yesus ... Dia yang dapat melakukan perbuatan ajaib dan besar,” kata ayahku.
“Wow, sungguh luar biasa yang Dia lakukan,” kataku dengan penuh takjub.
Tiba-tiba Yesus memalingkan wajah-Nya dan berkata kepadaku, “Terima kasih akan kasihmu untuk memberikan bekalmu, rasa berbagi kepada sesama memang harus dari dipupuk sejak awal,” kata Yesus kepadaku. Perkataan itu membuatku semakin memuji Tuhan bahwa kuasa-Nya dinyatakan. Akhirnya aku dan keluargaku kembali pulang, dan aku pun tersenyum ceria karena pengalamanku melihat perbuatan yang ajaib dari Tuhan.
“Ayo nak kita berangkat,” ujar ayahku kepadaku.
“Memangnya kita mau kemana ayah?” tanyaku.
“Ya nanti kamu akan tahu, kita harus cepat karena pasti akan banyak orang,” ujar ayahku sambil memegang tanganku.
“Baik ayah ...,” kataku.
“Bu, ayo cepat ...,”panggilan ayah kepada ibu yang sedang menutup pintu rumah.
Perjalanan kami cukup jauh dan matahari pun bersinar dengan teriknya. “fyuhh panasnya ...,” ujarku dalam hati. Dalam perjalanan itu aku melihat raut wajah ayahku sungguh bersemangat, entah apa yang ada di benaknya sehingga wajahnya seperti itu.
“Ayah, sebenarnya kita mau kemana sih?” kembali tanyaku dengan penasaran.
“Kita akan melihat seseorang yang luar biasa,” ujar ayahku.
“Orang ini dapat melakukan perbuatan yang besar,” tambah ibuku.
“Wow ...,” ujarku kepada mereka.
Kemudian tibalah kami di hamparan padang rumput yang luas, dan aku melihat banyak sekali orang-orang yang berbondong-bondong untuk datang ke tempat itu. “Ayo kita ke depan bu,” kata ayah kepada Ibu sambil menarik tanganku untuk mengikuti mereka berdua. Matahari yang sangat terik tidak menghalangi orang-orang untuk datang ke tempat ini. Aku pun melihat orang-orang yang buta juga datang ke tempat ini, ada seseorang yang membawa orang yang lumpuh mungkin sanak saudaranya, aku pun melihat anak-anak sebayaku yang juga diajak oleh orang tuanya. Aku melihat padang rumput ini menjadi seperti lautan manusia. Timbullah pertanyaanku kembali “memangnya siapa yang mereka cari sehingga banyak orang yang hadir disini?”
“Ayo bu, di sini tempat yang tepat untuk melihat dan mendengarnya,” kata ayahku kepada Ibuku.
“Baik ayah, semoga kita bisa melihatnya dengan jelas,” kata ibuku.
“Guru, apa yang harus kita lakukan? Banyak orang disini,” kata seorang laki-laki kepada seorang yang raut wajahnya menunjukkan ketenangan.
“Roti seharga dua ratus dinar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka,” timpal orang yang kedua.
Memang pada saat itu matahari bersinar terik, dan memang waktu itu bertepatan dengan jam makan siang. Akupun melihat banyak orang yang tidak membawa bekal untuk memenuhi kebutuhan mereka, ada juga seorang yang membawa bekal tapi tidak mau membagikannya kepada sesamanya. “Guru, apa yang harus kita lakukan???” seseorang berteriak karena panik.
“Ayah, mereka sedang apa?”tanyaku kepada ayahku.
“Sepertinya mereka sedang kebingungan karena tidak bisa menyediakan makanan yang cukup untuk orang banyak, beruntung kita menyiapkan bekal,” kata ayahku kepadaku.
“Iya, salah mereka tidak mau menyiapkan bekal ...,” kata ibuku sambil menunjuk orang banyak.
Lalu akupun teringat akan kata-kata seorang ahli Taurat saat membacakan kitab Taurat di sebuah Sinagoge. “Kasihilah sesamamu manusia ...,” kira-kira seperti itulah kata-kata yang aku ingat saat aku belajar kitab Taurat di Sinagoge.
“Ayah kita harus menolong mereka,” ujarku kepada ayah.
“Menolong? Maksudmu bagaimana?” tanya ayahku kepadaku.
“Saya mau menyerahkan bekal kita kepada mereka ...”
“Ehhh, jangan ... nanti kita makan apa lagipula apa gunanya lima roti dan dua ikan untuk diberikan kepada orang banyak ini?” kata ibuku sambil menghalangiku.
“Lhoo, tadi ibu berkata kepada saya bahwa orang ini dapat melakukan perbuatan besar? Mengapa sekarang tidak yakin lagi?” Kataku kepada ibuku.
“Iya memang dia dapat melakukan perbuatan besar, tapi nanti kita bisa kelaparan,” tambah ayahku.
“Ayah dan ibu, bukankah di dalam ajaran kita diajarkan untuk mengasihi manusia seperti diri sendiri? Oleh karena itu saya mau memberikan bantuan ...,” tegasku.
Akhirnya ayah dan ibu merelakan diriku untuk bangkit dan berdiri. “Bapak-bapak, saya punya lima roti dan dua ikan,” teriakku kepada seseorang murid dari orang itu. “Guru, ini ada seorang anak yang mau memberikan lima roti dan dua ikan,” kata seseorang kepada gurunya. “Kemarikanlah,” kata orang itu. Lalu aku melihatnya berdoa dan mulai memecah-mecah roti dan membagikan kedua ikan. “Luar biasa,” kataku dalam hati, orang itu terus menerus memecahkan roti dan akhirnya dapat dipenuhilah kebutuhan makanan orang banyak.
“Ayah, siapa orang itu?” tanyaku kepada ayah.
“Nama-Nya adalah Yesus ... Dia yang dapat melakukan perbuatan ajaib dan besar,” kata ayahku.
“Wow, sungguh luar biasa yang Dia lakukan,” kataku dengan penuh takjub.
Tiba-tiba Yesus memalingkan wajah-Nya dan berkata kepadaku, “Terima kasih akan kasihmu untuk memberikan bekalmu, rasa berbagi kepada sesama memang harus dari dipupuk sejak awal,” kata Yesus kepadaku. Perkataan itu membuatku semakin memuji Tuhan bahwa kuasa-Nya dinyatakan. Akhirnya aku dan keluargaku kembali pulang, dan aku pun tersenyum ceria karena pengalamanku melihat perbuatan yang ajaib dari Tuhan.