ecclesia reformata semper reformanda

WELCOME

Selamat datang
All of you are invited!!!

blog ini berisikan tentang renungan saya dalam kehidupan sehari-hari
selain itu ada beberapa karya ilmiah saya pada saat saya studi di sekolah teologi.

Semoga mendapatkan berkat melalui blog ini
Tuhan memberkati
HI FRIENDS, WELCOME TO MY BLOG.. I HOPE YOU LIKE IT..GBU ALWAYS

Sabtu, 28 Agustus 2010

Teologi Pembebasan Sebagai Usaha Kontekstualisasi




I.  Pendahuluan
Pembebasan! Kata ini mempunyai makana yang sangat dalam jika dihubungkan dengan masyarakat.  Mengapa?  Karena kata ini merupakan suatu usaha untuk membebaskan atau melepaskan diri dari suatu kukungan sehingga seseorang dapat mandiri.  Kata ini sering dihubungkan dengan Teologi di mana Teologi Pembebasan merupakan cara yang ditempuh orang-orang terpinggirkan untuk membebaskan diri dari cengkeraman penguasa.
Teologi Pembebasan merupakan usaha kontekstualisasi orang-orang Kristen terhadap lingkungannya.  Usaha kontekstualisasi melalui teologi pembebasan sering dianggap sebagai suatu upaya pembangkangan orang-orang terhadap pihak berkuasa, sehingga banyak terjadi musibah seperti pembunuhan enam dosen di El Salvador.  Padahal,  teologi pembebsan membuat masyarakat mengerti siapa mereka dan apa yang harus dilakukan mereka untuk mencapai hak-haknya sebagai manusia. 

II.  Apa itu Teologi Pembebasan
Apa itu Teologi Pembebasan yang membuat banyak perhatian bukan hanya dari kalangan Kristen saja tetapi mencakup segala bidang.  Teologi ini mulai berkembang sejak tahun 1960an di Amerika Latin, di mana terjadi pemahaman akan konteks mereka saat itu yaitu kemiskinan.  Teologi Pembebasan sebagai batang tubuh dari karya-karya tulis dihasilkan oleh tokoh-tokoh teologi pembebasan sejak tahun 1970 diantaranya adalah Gustavo Guiterrez (Peru), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria, dll.
Beberapa ajaran dasar yang terdapat dalam suatu Teologi Pembebasan yang terpenting adalah:
1.      Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang  tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa struktural.
2.      Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas.
3.      pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan.
4.      pengembangan basis-basis kelompok masyarakat Kristen di kalangan orang miskin sebagai suatu bentuk baru gereja dan sebagai suatu alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan sistem kapitalis.
5.      suatu pembacaan baru terhadap Alkitab memberikan perhatian penting pada bagian Kitab Keluaran sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak.
6.      Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama (jadi bukan ateisme)
7.      sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari keselamatan Kristus, kerajaan Tuhan.
8.      kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda dimana sejarah kemanusiaan dan ketuhanan memang berbeda tetapi tak dapat dipisahkan satu sama lain.

Di dalam Teologi Pembebasan, gereja-gereja diajak untuk “bersuara.”  Dulu gereja-gereja hanya bungkam terhadap ketidakadilan yang terjadi terhadap rakyat kecil. Sekarang, Gereja-gereja semakin membela kepentingan kaum-kaum marginal melawan kesewenang-wenangan pemerintah.
Pada tahun 1971, dengan terbitnya karya Guiterrez, seorang Yesuit dari Peru, teologi pembebasan benar-benar lahir.  Dalam bukunya Liberation Theology-Perspectives, Guiterrez mengajukan berbagai gagasan anti-kemapanan.  Guiterrez melihat bahwa penyelamatan bukanlah suatu upaya pribadi melainkan komunal atau publik.  Baginya kaum miskin bukan menjadi sasaran belas kasihan melainkan harus menjadi subjek yang memperjuangkan kebebasan mereka.  Gustavo Giterrez melihat bahwa kaum miskin dimiliki oleh setiap kelompok, Ras, Kelas, Budaya, dll. Kaum miskin merupakan produk dari sistem kekuasaan yang berlaku untuk kepentingan pribadi. Kaum miskin merupakan orang-orang yang terbuang di tanahnya sendiri.
Teologi Pembebasan telah memakan banyak martir seperti Monsinyor Romero yang menentang junta militer di El Salvador.  Beliau dibunuh oleh pasukan pemerintah akibat seruannya kepada masyarakat untuk ikut serta menghentikan penindasan yang dibuat oleh pemerintah pada saat itu.  Jon Sobrino pun mendukung Romero dengan mengatakan bahwa Gereja harus menjadi saksi di dalam sejarah kehidupan dalam segala situasi.

III.  Kemiskinan sebagai Konteks Teologi Pembebasan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kemiskinan menjadi konteks teologi pembebasan.  Menurut Banawiratma, teologi pembebasan adalah sebuah teologi yang berorientasikan kerakyatan.  Menurut beliau, arah dasar teologi pembebasan adalah pembebasan kaum miskin dan tertindas.  Pembebasan ini berarti secara menyeluruh baik di bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Kemiskinan terjadi di mana-mana terutama pada dunia ketiga yang seringkali menjadi objek sistem kapitalisme.  Kemiskinan ini terjadi akibat pemerintah yang tidak dapat melindungi rakyatnya dari sistem kapitalisme, bahkan pemerintah mendukung sistem tersebut.  Kemiskinan dalam dunia ketiga seringkali diterima dengan sikap fatalistis dan seringkali didukung oleh keyakinan-keyakinan agama tertentu.  Selain itu, fakta menyatakan bahwa akibat kolonialisasi, negara-negara yang dijajah masyarakatnya menjadi miskin baik mental maupun materi.
Kemiskinan seringkali merupakan masalah fundamental, namun pemerintah tidak pernah memberantasnya.  Pemerintah seringkali bertindak arogan dengan mengusir paksa kaum miskin dari daerah tempat tinggalnya untuk mendirikan bangunan atau mal yang mendatangkan keuntungan bagi pejabat-pejabat teras.  Pemerintah menciptakan kemiskinan struktural di mana orang yang telah berada dalam lingkungan tersebut sulit untuk keluar dan bebas dari kemiskinan itu.
Keprihatinan sosial telah menjadi titik tolak teologi dan komitmen pelaku refleksi iman. Kemiskinan merupakan masalah sosial, maka teologi pembebasan telah menjadikan kemiskinan sebagai keprihatinan sosial dan harus dilakukan secara bersama-sama.  Teologi pembebasan yang berusaha membebaskan manusia dari konteks kemiskinan yang dilakukan dari pihak profesional hingga yang awam akhirnya menjadi fides quaerens intellectum dan sekaligus fides quaerens liberationem yaitu refleksi iman yang menuntut penalaran yang masuk akal dan sekaligus menuntut tindakan pembebasan yang konkret.  Oleh karena itu konteks kemiskinan haruslah menjadi keprihatinan sosial dan iman dalam usaha untuk memanusiakan manusia yang terpinggirkan agar mau menjadi subjek. 
Menurut Ignacio Ellacuria, salah satu cara pemecahan masalah kemiskinan dan penindasan ini adalah:
1.      tindakan mempertimbangkan dengan serius pemikiran dan pendekatan yang diusulkan oleh gerakan teologi pembebasan tentang masalah itu.
2.      Diperlukannya suatu usaha istilah dan uraian teologis baru untuk mendiskusikannya secara mendalam dan menyeluruh.

IV.  Teologi Pembebasan Sebagai Jalan Kontekstualisasi Masa Sekarang
Kemiskinan dan Teologi Pembebasan saling terkait.  Teologi Pembebasan merupakan keprihatinan sosial dari sekelompok orang tentang masalah-masalah kaum marginal.  Kemiskinan terjadi di mana-mana dan hampir setiap negara dunia ketiga mempunyai masalah ini.  Selain karena fatalitas dari orangnya, sistem yang dibentuk dalam masyarakat ikut mempengaruhi pengertian mengenai kemiskinan.  S.A.E Nababan mengatakan bahwa kemiskinan di Indonesia merupakan “kekurangan dalam segala hal.” Kemiskinan adalah akibat dari ketergantungan pada suatu lingkungan ketidaksanggupan dan ketidakmampuan, dan lingkungan keterbelakangan, kebutaan dan kelumpuhan.  Oleh karena itulah, manusia yang terkungkung dalam kemiskinan struktural memerlukan sang pembebas.  Untuk itulah Teologi Pembebasan dikembangkan.
Teologi Pembebasan yang menitikberatkan pada kaum miskin (Banawiratma) telah menjadi suatu usaha untuk membebaskan manusia.  Teologi Pembebasan perlu menjadi sebuah identitas kebudayaan dalam dunia ketiga di mana pemribumian teologi pembebasan berdasarkan pengalaman manusia. Sebagai salah satu contoh kontekstualisasi, teologi pembebasan juga harus memperhatikan Tradisi juga perubahan sosial. 
Teologi Pembebasan adalah satu jalan untuk mebebaskan manusia, selainitu orang-orang diberikan rasa untuk peka terhadap sesama manusia.  Setiap orang merasa saling menghargai dan mau untuk membebaskan orang-orang dari kemiskinan struktural.  Teologi pembebasan merupakan jalan yang harus ditempuh untuk membebaskan manusia yang tertindas, namun bukan dengan cara anarkis melainkan dengan cara melakukan dialog dengan pihak penguasa.  Selain itu gereja-gereja juga mampu untuk kritis terhadap keadaan di luar.  Gereja harus berani bersuara jika melihat bentuk ketidakadilan dalam lingkungan sekitar.

V. Simpulan dan Refleksi
Teologi pembebasan merupakan sarana yang baik sebagai usaha kita untuk mngkontekstualisasikan diri kita dengan lingkungan.  Di dalam teologi Pembebasan kita diajarkan bagaimana kita harus ikut prihatin terhadap sesama kita yang tersisihkan.  Teologi pembebasan merupakan cara agar kaum miskin tidak hanya menjadi objek melainkan sebagai pelaku yang membuat mereka dapat keluar dan menyadari arti kehadiran mereka di dunia ini.
Yesus datang ke dunia bukan untuk menolong orang-orang kaya melainkan untuk menjadi berarti bagi sesama.  Dalam kehidupanNya Yesus-lah yang meletakkan dasar-dasar Teologi Pembebasan dimana Dia menentang sistem yang berlaku pada saat itu yang menyisihkan kaum marginal.  Yesus datang untuk memanusiakan manusia,  Dia berkorban untuk manusia agar manusia juga mau berkorban demi orang lain.  Melalui Teologi Pembebasan inilah kita diuji bagaimana menjadi manusia yang “care” terhadap sesama kita.
Gereja-gereja yang selama ini diam harus berani mengangkat suara, walaupun keberanian angkat suara itu mempunyai resiko.  Namun, Yesus telah menunjukkan bahwa Dia berani berkorban dan bersuara untuk orang-orang tertindas.  Seharusnya Gereja sebagai saksi Allah di dunia, mengikuti keteladanan Yesus yang taat sampai mati.  Jangan sampai Gereja memihak penguasa yang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyatnya.


SUMBER BACAAN
Banairatma, J. B dan J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Budi,Hartono. Teologi, Pendidikan & Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Evans, Stephen B. Models of Contextual Theology. New York: Orbis Books, 1992.
Lowy, Michael. Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Torres, Sergio and John Eagleson (ed.). The Challenge of Basic Christian Communities. New York: ORBIS BOOKS, 1982.
Yewangoe, A. A. Theologia Crucis di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Kamis, 26 Agustus 2010

IMAN DALAM PERKATAAN DAN PERBUATAN

             Di dalam Alkitab istilah iman mengacu pada dua hal:
  1.    Sikap percaya kepada Allah
  2.    Sejumlah keyakinan atau gagasan keagamaan
Percaya kepada Allah adalah sikap yang sangat penting, yaitu sama seperti Abraham yang percaya kepada janji Allah.  Janji itu tidak didasarkan pada hal yang telah dikerjakan oleh Abraham, melainkan sikap percaya Abraham terhadap janji Allah.  Inilah yang menjadi panggilan umat Allah yaitu percaya pada janji Allah meskipun ada begitu banyak masalah dan kesulitan yang menghalangi mereka.
Di dalam Ibrani 11:1 ini menegaskan pada kita yaitu bahwa iman yang konsisten adalah iman yang menang dalam situasi yang paling buruk sekalipun.  Ini berarti sebuah iman berarti kita harus memberikan yang terbaik dalam kehidupan kita.  iman yang tidak hanya dengan menjalankan ritus-ritus keagamaan.  Iman yang benar berarti saat kita mengimani berarti kita juga mengamini apa yang kita imani.  Inilah yang disebutkan sebagai orang yang berspiritual, yaitu iman yang diyakini sejalan dengan perkataan dan perbuatan.  Spiritualitas seseorang tidak dapat kita lihat dalam ritual-ritual keagamaan melainkan dalam kehidupan sehari-hari orang tersebut
Iman berarti kita tidak bertindak eksklusif atau merasa diri paling benar sehingga kita mengabaikan apa yang terjadi dalam lingkungan sekitar kita.  jika kita ingat tentang cerita orang Samaria yang baik hati, yang berani menolong orang yang sedang sekarat dibandingkan dengan imam, dan juga orang Lewi, bagi Yesus orang samaria inilah yang menunjukkan imannya bukan hanya di mulut saja melainkan dengan perbuatannya.
Percaya berarti bertekun dalam memercayai dan yakin dengan menyatakan kesetiaan yang bersifat taat.  Iman itu bukanlah instant.  Apalagi budaya instant yang terjadi dalam kehidupan modern saat ini
}Kesembuhan tiba-tiba
}  Kaya mendadak
}  Rumah yang dibetulkan secara cuma-cuma
}Mendadak terkenal
}Perubahan cepat

Iman itu harus diusahakan dan diasah untuk menjadi iman yang berkualitas. Salah satunya adalah hidup dekat dengan Tuhan. Sama seperti cerita tentang Maria dan Marta, dimana Marta yang sibuk dengan kesibukannya sendiri dan lupa untuk mendekatkan diri kepada Firman Allah.  Iman yang berkualitas dapat digapai apabila kehidupan kita juga dekat kepada Kristus.  Namun sering kali pada saat keadaan mendesak kita melupakan iman kita dan mendasarkan pada kekuatan kita sendiri dan melupakan Tuhan bahkan kita menolak Tuhan.
Iman yang berkualitas berarti:
} Melihat segala sesuatu dalam sudut pandang yang positif
} Mampu melewati segala tantangan dan hambatan
}Tetap berpengharapan kepada Tuhan sama seperti Abraham

Di dalam kehidupan kita menjadi orang beriman bukan berarti lepas dari masalah melainkan bagaimana kita menjadikan masalah itu menjadi batu loncatan untuk menjadi suatu keberhasilan dalam hidup.  Masalah bukanlah suatu penghambat TOTAL dalam kehidupan kita melainkan membuat kita merenungkan sesaat apa yang telah kita lakukan dalam hidup, dan mencari jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.  Apabila kita berhasil dengan tetap berpengharapan pada Tuhan dengan melewati tantangan dan hambatan, ini berarti kita telah beriman secara perkataan dan perbuatan.
Menjadi orang beriman yang berkualitas adalah menjadikan segala masalah adalah batu asah dalam kehidupan kita untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Menjadi iman yang berkualitas bukan hanya rajin dalam ritual-ritual keagamaan melainkan bagaimana kita mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari

kadal ohh kadal

Cerita Bijak
Ini sebuah kisah nyata yang terjadi di Jepang. Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok.

Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong diantara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor kadal terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah paku. Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek paku itu, ternyata paku tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.

Apa yang terjadi? Bagaimana kadal itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun?

Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikitpun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal. Orang itu lalu berpikir, bagaimana kadal itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada paku itu!

Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan kadal itu, apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. kemudian, tidak tahu darimana datangnya, seekor kadal lain muncul dengan makanan di mulutnya …. astaga!!

Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor kadal lain yang selalu memperhatikan kadal yang terperangkap itu selama 10 tahun. Sungguh ini sebuah cinta…cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor kadal itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? tentu saja sebuah keajaiban. Bayangkan, kadal itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.

Saya tersentuh ketika mendengar cerita ini. Lalu saya mulai berpikir tentang hubungan yang terjalin antara keluarga, teman, saudara lelaki, saudara perempuan…..Berusahalah semampumu untuk tetap
dekat dengan orang-orang yang kita kasihi.

Jangan Pernah Mengabaikan Orang Yang Anda Kasihi!

Pengabdian yang Abdi

Tema: “ Pengabdian yang Abadi”

Bacaan I         :Yesaya 40:21-31
Antar Bacaan: Mazmur 147:1-11
Bacaan II       : I Korintus 9:16-23
Bacaan III      : Markus 1:29-39

KHOTBAH
               
Abdi Rajamin Saragih! Atau yang lebih akrab disapa dengan Bang Abdi, adalah salah seorang rekan saya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Ia adalah salah seorang bersuku Batak yang berasal dari Gereja Methodis Indonesia (GMI). Abdi Rajamin Saragih! Sebuah nama yang menurut saya sangat unik. Mengapa? Karena di dalam nama itu saya menemukan sebuah kata yang penting, yang tentu saja memiliki makna yang tidak kalah pentingnya, yaitu kata ‘abdi’. Suatu kali saya pernah iseng menanyakan apa arti nama itu, atau mengapa orangtuanya memberi nama itu? Bang Abdi ini kemudian menjawab bahwa nama tersebut memang diambil dari sebuah kata ‘eved’ yang dalam bahasa Ibrani berarti pelayan atau hamba.  Jadi, konon…ketika dulu dilahirkan, orangtua dari Bang Abdi ini juga sangat berharap agar ia dapat menjadi seorang pelayan atau hamba, tentu saja pelayan atau hamba yang dimaksud adalah pelayan Tuhan. Demikian diungkapkan oleh rekan saya Bang Abdi dalam sebuah percakapan informal yang kami lakukan.

            Mungkin saudara/I bertanya mengapa kisah ini saya ceritakan di awal perenungan khotbah pada kebaktian mInggu ini? Hal ini karena pada hari ini kita hendak diajak untuk melihat dan merenungkan arti sebuah pengabdian….atau secara spesifik mengutip tema kita, melalui kebaktian Minggu ini kita diajak untuk merenungkan makna sebuah “pengabdian yang abadi”.

            Pengabdian! Jelas ini merupakan sebuah kata kerja aktif. Ada sesuatu yang dilakukan dan dalam hal ini kata kerja tersebut adalah mengabdi. Mari kita lihat sekilas istilah ‘pengabdian’. Istilah ini berasal dari sebuah kata ‘abdi’. Secara definisi, kata ‘abdi’ ternyata memiliki beberapa arti : (1) pelayan; (2) hamba, (3) orang bawahan, (4) budak tebusan. Tentu saja saudara/i, jika kemudian kita melihat definisi-definisi in, maka kata ‘abdi’ cenderung diarahkan atau dikonotasikan pada mereka yang memiliki status rendah, bawahan, atau mereka yang sehari-harinya menjadi pelayan yang melayani. Hal-hal inilah yang ada dalam pola pikir dan pemahaman setiap kita. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mudahkah kita melakukan sebuah pengabdian itu saudara? Jawabannya jelas tidak! Karena apa? Karena dibutuhkan sebuah kesiapan..kesediaan..bahkan juga penghayatan dalam proses pelaksanaannya.

            Bacaan Alkitab kita hari juga hendak memberikan sorotan pada dua tokoh yang memberikan dirinya untuk melaksanakan sebuah pengabdian. Tokoh yang pertama adalah Paulus. Apa yang ditekankan dalam bacaan II kita dari Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus (I Kor 9:16-23) menjadi sebuah hal menarik. Kalau kita mencermati bagian perikop yang kita baca ini, kita dapat belajar dari sosok seorang Paulus dalam keberadaannya sebagai seorang hamba atau seorang abdi.
           
Apa yang menarik dari sosok seorang Paulus? Saya mencatat bahwa yang menarik dari sosok seorang Paulus adalah perihal sikap dan pilihan hidup yang ia pilih. Sikap dan pilihan hidup yang bagaimana? Jelas bahwa sikap hidup yang Paulus pilih adalah sikap hidup yang ‘mengabdi’. Kalau sejenak kita memperhatikan bagian awal perikop kita, kita dibawa pada suatu pemaparan mengenai pelayanan Paulus sebagai seorang Rasul. Apa yang dituliskan Alkitab? Alkitab menuliskan bahwa kendati sebagai seorang Rasul, ia sebenarnya memiliki hak untuk mendapat makanan dan minuman, upah, bahkan juga mempunyai hak untuk membawa keluarga dalam pelayanan, namun apa yang dinyatakan dan dilakukan oleh Paulus? Paulus ternyata tidak menggunakan hak-hak itu. Mengapa? Jawabannya seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, karena ini adalah sikap dan pilihan hidup Paulus. Bagi Paulus, yang utama adalah sikap hidup yang mengabdi…pengabdian kepada Tuhan, dan pengabdian ini dilakukan secara total, tidak setengah-setengah. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah: apa wujud nyata pengabdian yang Paulus lakukan?
1.      Kesediaan untuk terus memberitakan Injil Tuhan dengan melepaskan yang sesungguhnya menjadi hak Paulus
2.      Kesediaan diri Paulus untuk menjadi hamba dari semua orang yang terus melayani.
      


Itulah tokoh yang pertama. Tokoh berikutnya yang juga hendak kita lihat
memberikan diri dalam melaksanakan sebuah pengabdian adalah Yesus Kristus. Dalam bacaan III kita yaitu Injil Tuhan kita Yesus Kristus menurut Markus dalam Markus 1:29-39, kita dapat melihat sebuah deskripsi terhadap sosok Yesus sebagai seorang Hamba, khususnya di sini Hamba Allah. Sebagai seorang Hamba, atau kalau meminjam tema kita hari ini, sebagai seorang Abdi Allah ini berarti bahwa apa yag dilakukan oleh Yesus, semuanya semata-mata ditujukan dan ditujukan pada satu hal yaitu mewujudnyatakan kehendak Allah… (point penting)…orientasi/fokus karya dan pelayanan Yesus semuanya ditujukan pada Allah sendiri. Ada sebuah ketaatan yang tampak di sini….dan ini menjadi sebuah hal yang essensial dalam kehidupan Yesus.

            Injil Markus saudara-saudara…dikenal sebagai Injil yang alur ceritanya banyak sekali menguraikan tentang kisah dan aktivitas pelayanan Yesus. Seperti dalam bacaan kita hari ini, Yesus dikisahkan menyembuhkan ibu mertua Petrus..lalu ada pula yang menderita sakit dan kerasukan setan…semuanya sebenarnya hendak berbicara tentang sebuah hal yaitu tentang karya dan pelayanan Yesus. Inilah yang Yesus lakukan tatkala Ia berada di dunia ini. Hidup Yesus diabdikan sebagai seorang Hamba yang mau melayani..untuk apa? Jawabannya jelas yaitu untuk mewujudnyatakan kehendak Allah di tengah dunia ini.

            Hari ini…dalam khotbah ini kita sama-sama hendak belajar tentang makna sebuah pengabdian. Belajar dari Paulus dan Yesus, kita diingatkan bahwa seorang abdi, atau seorang hamba harus memiliki ketulusan hati dan kesediaan untuk berkorban. Hal ketulusan hati menjadi sebuah hal yang penting saudara…Mengapa? Karena dalam realitas hidup yang kita jalani, ada orang yang bersedia untuk mengabdi…bersedia untuk melayani…namun itu semua dilakukan dengan tujuan atau agar ia memperoleh sesuatu yang menguntungkan dirinya… ambil saja sebagai contoh… “saya mau mengabdi kepada dia agar nantinya dia baik kepada saya….agar dia memberikan yang saya butuhkan…agar dia mau menolong saya kalau sedang mengalami kesulitan, dlsb”.  Kalau kita berada dalam situasi dan pola pikir demikian, itu berarti bahwa sebenarnya kita tidak memiliki ketulusan hati. Kita tidak punya kerelaan hati untuk mengabdi. Sungguh disayangkan kalau demikian yang terjadi. Namun sekali lagi saya tegaskan bahwa ini kenyataannya..sangatlah penting bagi seorang abdi untuk memiliki ketulusan hati dalam dirinya…dan ditambahkan pula dengan kesediaan untuk berkorban. Berkorban!!! Ini juga merupakan hal yang tidak mudah. Mengorbankan diri, waktu, tenaga, pikiran dan segala hal dalam hidup kita, dalam praktiknya sangat tidak mudah. Akan tetapi perlu ditegaskan, tentu saja ini bukan berarti tidak mungkin jika kita tetap mengupayakan dalam pelaksanaannya.    

            Saya teringat dengan apa yang dituliskan oleh J.B Banawiratma mengenai jati diri seorang pelayan. Dalam salah satu tulisannya, beliau pernah membedakan 2 jenis karakteristik pelayan dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan pelayanan secara khusus:
a.      Pelayan yang dengan kesungguhan dan ketulusan hati mau melayani dan dalam hal ini mengarah pada melayani Tuhan dan sesama (ia memiliki keikhlasan untuk tidak mempertahankan kemuliaan, kedudukan, jabatan, atau bahkan keuntungan pribadinya).
b.      Pelayan yang kedua adalah kebalikan dari yang pertama. Karakteristik pelayan kedua tentu saja lebih mengutamakan kedudukan, kekuasaan, yang ada pada mereka. Tak jarangm mereka melakukan sesuatu dengan embel-embel lain di balik pelayanan mereka. Jenis ini tentu bukanlah jenis pelayanan dengan ketulusan hati, bukanlah dengan kerelaan hati, dan ini menjadi sebuah hal yang harus dihindari dalam kehidupan kita.  

Apa yang diungkapkan oleh J.B Banawiratma ini menjadi sebuah perenungan dan  
refleksi bagi kita dalam memahami makna sebuah pengabdian..khususnya pengabdian kepada Tuhan... pertanyaan refleksti bagi kita adalah: kita berada pada karakteristik yang mana? Apakah jenis pelayan yang pertama, atau sebaliknya? Hanya kita yang dapat menjawab hal tersebut secara pribadi. Tuhan memberkati. AMIN

Gloria.Tesalonika.S.Si (Teol) 

Rabu, 25 Agustus 2010

Take the Name of Jesus with You (“Ingat akan Nama Yesus”-KJ 344)

Sejarah Lagu
  Judul lagu: Take the Name of Jesus with You (“Ingat akan Nama Yesus”-KJ 344)
  Pengarang: Lydia Odell Baxter
  Komposer: William H. Doane



Kisah lagu dalam Paidea edisi kali ini adalah lagu dalam Kidung Jemaat 344 yang berjudul “Ingat Akan Nama Yesus”. Sebuah lagu yang sudah cukup familiar di telinga kita, bahkan sudah sangat sering kita nyanyikan. Lagu yang terdiri dari 4 bait ini berisikan syair yang penuh dengan makna. Jika kita memperhatikan dengan saksama, setiap syair dalam bait lagu ini memberikan makna teologis akan adanya pengharapan di dalam Yesus. Pengharapan tersebut tentu saja pengharapan dalam segala situasi, baik susah, sedih, namun juga sebaliknya ketika kita menghadapi sukacita di dalamnya. Tentu ini sangat mengena dengan kehidupan kita, terutama ketika kita telah memasuki pertengahan tahun 2010. Segala situasi yang kita hadapi senantiasa kita serahkan hanya kepada Yesus yang adalah Sumber Pengharapan itu. Oleh karenanya kita akan melihat bersama sejarah lagu ini. 
Lagu “Ingat Akan Nama Yesus” ditulis oleh seorang wanita bernama  Lydia Odell Baxter atau lebih dikenal dengan Lydia Baxter. Lydia lahir di Petersburg, sebuah kota di New York pada tanggal 8 September 1809. Semasa hidupnya, Lydia memilih untuk menjadi pelayan Kristen yang giat dan rajin.
Setelah ia lahir baru, bersama dengan saudara perempuannya, Lydia mendirikan Gereja Baptis di rumahnya di Petersburg. Tidak lama berselang, Lydia pun menikah. Sesudah menikah, bersama suaminya Lydia pindah ke New York dan melanjutkan pelayanannya di kota tersebut. Rumahnya di New York sering dijadikan tempat berkumpulnya para pengkhotbah, penginjil dan pelayan-pelayan Kristen untuk mencari inspirasi dan meminta nasihat darinya. Teman-temannya yang biasa mengunjunginya saat terbaring sakit justru mengatakan bahwa mereka mendapat penghiburan darinya.
Lagu “Ingat Akan Nama Yesus”, ditulis oleh Lydia pada saat ia mengalami sakit parah, empat tahun sebelum ia meninggal pada tahun 1874. Lydia menyadari betul akan arti yang indah pada nama Yesus. Baginya, nama Yesus mewakili bagaimana sesungguhnya kepribadian dan karakter sosok Yesus yang begitu mengasihinya. Kendati sesungguhnya ia menulis cukup banyak lagu-lagu rohani, lagu ini merupakan satu-satunya lagu himne yang masih dinyanyikan sampai sekarang. Tidak hanya menulis lagu, Lydia juga menulis kumpulan puisi dengan judul Gems by the Wayside yang diterbitkan tahun 1855.
Komposer lagu ini, William Howard Doane segera menulis not untuk syair lagu ini setelah Lydia menyelesaikan syairnya. Tidak lama sesudah itu, lagu ini diterbitkan di buku lagu-lagu rohani yang berjudul Pure Gold pada tahun 1871. Lagu ini digunakan juga dalam kampanye evangelis Moody-Sankey pada perempat abad ke-19, dan masih terus dipakai oleh semua kongregrasi evangelikal di seluruh dunia. Sungguh sebuah lagu yang sangat indah.

Sumber:
wordwisehymns.com/.../today-in-1809-lydia-baxter-born/
library.timelesstruths.org/music/Precious_Name/



Pnt. Gloria Tesalonika S.Si (Teol)

Orang Samaria yang Baik Hati oleh Arya Triyudanto

Lukas 10: 25-37
GKJ Kanaan

Masih segar betul diingatan saya, sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar, seorang guru mengajarkan bahwa kebutuhan dasar manusia atau biasa disebut kebutuhan primer sangat identik dengan sandang, pangan, dan papan. Tentu kita setuju dengan hal ini. Tanpa pangan, kita sebagai manusia dapat kelaparan dan tidak bertenaga. Tanpa sandang dan papan, manusia tidak dapat kuasa menahan panasan dan dingin. Namun belakangan ini, banyak tokoh psikolog ataupun sosial yang mencermati bahwa sandang, pangan, dan papan memang penting dan utama, tetapi masih ada kebutuhan dasar manusia lainnya yang dinilai penting pula. Salah satu tokoh yang berpandangan demikian ialah Abraham Harold Maslow – yang pada perkembangannya dikenal dengan Teori Maslow.

Teori Maslow ini mengatakan bahwa kebutuhan dasar utama manusia terbagi dalam lima hal: pertama, sandang, pangan dan papan. Kedua, kebutuhan bahwa diri kita ini aman atau selamat. Contohnya: hidup kita bebas dari ancaman; bebas dari rasa sakit; bebas dari pergumulan; bebas dari stress dan depresi yang berkepanjangan. Ketiga, kebutuhan interaksi sosial atau kebutuhan relasi antarmanusia. Kebutuhan ini penting karena manusia tidak dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain. Demikian sebaliknya. Orang lain membutuhkan kita. Bisa dibayangkan: rumah mungkin kita punya, makanan pun tercukupi bahkan berlebih, dan pakaian pun ada, tetapi harmonisasi keluarga di dalamnya tidak ada, pasti rumah itu menjadi rumah yang seolah-olah hampa atau kosong. Oleh karena itu, banyak sekali fenomena anak broken home atau keluar dari rumah bukan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan, melainkan kasih yang tercermin di dalam relasi yang indah tidak nampak dan terpenuhi. Begitupula sebaliknya, banyak orang tua sakit dan depresi, karena kita sang anak tidak mencerminkan hubungan yang indah terhadap orang tua kita.

Keempat, kebutuhan untuk setiap manusia diberi penghargaan. Penghargaan di sini sifatnya bukan sekadar materi, tetapi setiap kita butuh dipuji: “pak, hari ini ganteng lho, bu, hari ini cantik banget”, setiap kita butuh diapresiasi, butuh disapa, butuh dikasihi, butuh diperhatikan. Matius 5: 1-12 mengkisahkan  bahwa sebelum Yesus memberikan khotbah panjang-lebar di bukit, yang Yesus lakukan adalah memberikan apresiasi, memberikan pujian: “berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, berbahagialah orang yang berduka cita, berbahagialah orang yang lemah lembut, berbahagialah orang yang murah hati, berbahagialah kita, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya, dan ditutup dengan bersukacita dan bergembiralah karena upahmu besar di sorga.” Yesus mengetahui betul, bahwa pujian, perhatian merupakan kebutuhan dasar manusia juga.

Dan yang terakhir, kelima. Setiap manusia butuh untuk mengatualisasikan dirinya. Kita butuh untuk menyalurkan minat dan bakat dalam hal yang positif. Sebentar lagi, GKJ Kanaan akan berulang tahun yang ke-2. Panita ulang tahun, yang diketuai oleh Mas Anto akan banyak mengadakan lomba: paduan suara, cerdas cermat Alkitab, futsal, badminton, dan tenis meja. Dalam ajang inilah, mari bersama-sama kita mengatualisasikan diri kita untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan dengan tergabung dalam wilayah-wilayah. Sadar tidak sadar, ini juga merupakan kebutuhan dasar manusia di mana kita bisa mengeluarkan segala potensi dan talenta yang Tuhan berikan.

Bersyukurlah kepada kita, yang kelima kebutuhan dasar manusia ini bisa kita peroleh dan dapati. Namun, Firman Tuhan kali ini hendak memperlihatkan bahwa ada seseorang yang nasibnya naas dan tiba-tiba kelima kebutuhan dasar manusianya tercabik-cabik, hilang secara paksa. Sosok orang menderita inilah yang digambarkan oleh Yesus dalam sebuah perumpamaan.

Tentunya ketika Yesus mengangkat sebuah perumpamaan, itu tidak lepas dari kejadian sehari-hari-Nya. Dan memang benar, perumpamaan yang Yesus katakan di dalam perikop ini juga sering terjadi pada saat itu. Saat itu ada orang asing menuruni lembah dari Yerusalem ke Yerikho. Yerusalem dikenal sebagai pusat kota dan tempat Bait Suci sedangkan Yerikho dikenal sebagai tempat di mana banyak orang bertempat-tinggal. Lembah yang dilaluinya ini, merupakan lembah yang terjal. Dan di kiri-kanannya adalah tebing. Sehingga tempat ini merupakan tempat yang paling aman serta nyaman untuk para perampok bersenyembunyi dan melancarkan aksinya. Sebenarnya ini bukan jalan satu-satunya untuk menuju Yerikho, ada banyak jalan, tetapi biasanya rutenya agak jauh, memutar dan lama.

            Namun malang betul peristiwa yang dialami oleh orang asing ini. Mau mempersingkat waktu untuk cepat-cepat sampai di rumah tetapi justru kejadian yang tidak diduga terjadi. Ayat 30 tertulis, “ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan tetapi yang juga memukulnya dan meninggalkannya setengah mati.” Kata merampok habis-habisan di sini hendak memperlihatkan bukan saja barang bawaannya yang diambil tetapi pakaian yang dikenakannya juga dijarah. Dan tidak sampai di situ saja penderitaan yang dialaminya. Fisiknya, dirinya, juga dicederai hingga sekarat. Kebutuhan sandang hilang, rasa keamaan dan keselamatan hilang, hubungan sosial juga retak, penghargaan dirinya sebagai seorang manusia juga sudah tidak ada. Pada titik inilah, orang asing ini sudah tidak dianggap layaknya seperti manusia. Kebutuhan dasarnya lenyap.

            Di situasi inilah, seorang imam lewat. Imam ini melewati jalur yang sama. Menuruni lembah dari Yerusalem ke Yerikho. Dan agaknya, iman ini baru selesai memimpin atau mengikuti ibadah di bait suci. Tetapi justru bukan nilai-nilai kasih yang diperlihatkan imam itu selepas ibadah, melainkan ia naik kembali dan melewati jalur lain. Begitupula orang Lewi. Ketika orang Lewi melihat keadaan orang yang tergeletak tak berdaya itu, ia naik dan memutar lewat jalur lain. Ada tiga alasan mengapa imam dan orang Lewi ini tidak mau untuk melewati dan membantu orang yang naas itu. Pertama, Imamat 21:1 mengatakan “seorang imam janganlah menajiskan diri dengan orang mati.” Dan nampaknya seorang imam dan Lewi ini kwatir ia akan bersentuhan dengan mayat. Kedua, mereka ragu, jangan-jangan orang yang ditolongnya adalah orang berdosa. Mereka beranggapan orang berdosa layak mendapatkan hukuman. Dan ketiga, mereka juga takut untuk dirampok.

            Justru orang ketiga, orang samaria yang bukan pulang dari tempat ibadah Bait Suci tergerak hatinya untuk menolong. Orang Samaria ini melihat bahwa orang asing itu sama sepertinya dirinya, segambar dan serupa seperti Allah. Orang Samaria ini memandang bahwa kebutuhan dasar orang asing tersebut harus dipulihkan. Ia memberinya rasa aman. Ia memberinya penghargaan sebagai seorang manusia. Ia bahkan memberikan orang asing itu tempat tinggal untuk menginap di penginapan, pakaian, dan makanan. Dan yang menarik, orang samaria itu mau kembali lagi ke penginapan itu untuk menjenguk orang asing itu. Yesus mengangkat sosok orang Samaria karena orang Samaria itu mampu memperlihatkan belas kasih dengan memperhatikan kelima kebutuhan dasar manusia.

Tentu Firman ini berlaku juga buat kita. Sesama kita bahkan orang terdekat kita, mungkin ada yang kehilangan salah satu kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Di kiri-kanan kita mungkin perlu untuk diperhatikan, disapa, diberikan senyuman. Di dalam keluarga kita mungkin perlu untuk dipuji dan diberi apresiasi. Orang tua kita patut dihormati dan dihargai. Dan anak-anak kita patut untuk diberi ruang untuk mengatulisasikan dirinya dalam minat dan bakatnya yang positif. Inilah tindakan-tindakan yang diperkenakan oleh Allah. Dari hal yang sederhana, yang kecil, mari kita mulai untuk memberikan belas kasih kepada sesama. Ayatnya terakhir, Yesus mengatakan, “pergilah dan perbuatlah demikian!” Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk melakukan apa yang diperkenankan oleh Allah. Amin       

Minggu, 15 Agustus 2010

Khotbah Minggu 15 Agustus 2010 oleh Pnt. Gloria Tesalonika

KHOTBAH KEBAKTIAN MINGGU
GKI Perumahan Citra I
15 Agustus 2010
Beriman atau Hanya Tahu bahwa Allah Mahakuasa”

§  DOA PELAYANAN FIRMAN
§  PEMBACAAN ALKITAB                                                             
a.    Bacaan Pertama         : Yeremia 23:23-29
b.    Antar Bacaan              : Mazmur 82
c.    Bacaan Kedua             : Ibrani 11:29-12:2
d.    Injil (gloria)
PF       : Bacaan ketiga diambil dari Injil Tuhan Yesus Kristus menurut Lukas 12:49-56. Demikianlah Injil Yesus Kristus. Berbahagialah setiap kita yang mendengarkan Firman Allah dan yang memeliharanya. Haleluya!
Tujuan:
Anggota jemaat memahami besarnya kuasa Allah berdasarkan perbuatan-perbuatan-Nya bagi para tokoh Alkitab di masa lalu, dan berani menyerahkan hidup mereka ke dalam tangan kuasa Allah yang Maha Kuasa.
 

- Khotbah-

Pengantar

§  Ketika menyiapkan khotbah ini saya tiba-tiba teringat dengan sosok ayah saya. Saya mengagumi beliau karena Ia adalah sosok yang “diam-diam menghanyutkan”. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena memang ayah saya adalah seorang yang sangat pendiam… jarang berbicara… lain dengan ibu saya… kalau istilah Betawi mungkin sudah dari sononya ya? Kalau pria agak irit ‘bicara’ dan wanita sebaliknya… J

§  Tapi à ngga kalau di PMJ à pengkhususan ya… karena ibu-ibunya sedikit..hehehehhe….ada berapa ? kira-kira 8 orang….
§  Ayah saya adalah pribadi yang pendiam…tapi dalam istilah tadi dikatakan diam-diam menghanyutkan… mengapa? karena di balik pendiamnya itu ternyata ayah saya adalah pribadi yang begitu mengagumkan. (Khan kata anaknya… à wajar) Mengapa saya mengatakan demikian? karena setelah saya perhatikan ayah saya itu adalah orang yang serba bisa. Kami di rumah menyebutnya Mcgyver.

§  Kalau betulin listrik khususnya AC memang udah dari sananya… pendidikannya… namun sekali waktu ketika TV di rumah kami rusak, ayah saya ternyata juga mampu membetulkannya… saya masih beranggapan ahhh mungkin karena ada kabel-kabelnya mirip….betulin setrikaan, mesin cuci, bisa. Ehh ternyata ada yang lain lagi…ayah saya juga bisa membetulkan mobil…ketika mogok, susah distater nah dari sini saya mulai bertanya kok bisa ya? sekali waktu lagi ketika pulang ayah membawakan kami anak-anak, meja dari besi hasil bikinannya sendiri… dari situ saya menyimpulkan ayah saya beneran seperti McGyver…akalnya banyak…sampai-sampai kalau lihat ada yang aga aneh sedikit pasti langsung ingin betulin…. Sehingga kalau kami sekeluarga bercanda dengannya kami pasti menyebutnya tangan gatel… apa-apa mau dibenerin…. J 

§  Tentu saya tidak akan menguraikan panjang lebar kisah ini bisa-bisa khotbahnya ngga selesai… namun apa yang dapat dipelajari melalui kisah ini? Tentu saja dalam kaitannya dengan tema kita hari ini?  

§  Saudara… penggambaran dan keyakinan kita terhadap Allah yang adalah Bapa kita juga demikian. Allah kita adalah Allah yang sanggup melakukan segala hal dalam kehidupan ini. Mengapa? karena Ia adalah Allah yang begitu MahaKuasa à ini kuncinya! Kuasa-Nya mutlak dan tidak tertandingi…. Segala sesuatu bisa dilakukan melalui kuasa Allah tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia menambahkan imbuhan ter- untuk menjelaskan arti Maha Kuasa ini. Maha Kuasa berarti teramat besar kuasanya. Inilah penggambaran Allah kita. Sangat Pasti. Ia adalah Allah yang Mahakuasa.

§  Namun sungguh disayangkan… persoalan yang terjadi à Bicara memang mudah, namun prakteknya seringkali tidak semudah itu. Mempercayakan diri (beriman) sepenuhnya kepada Tuhan yang tidak kelihatan secara fisik seringkali sulit untuk dilakukan manusia.

§  Pada perenungan Firman hari ini kita hendak diingatkan kembali akan pentingnya makna kemahakuasaan Allah… yang kemudian kita wujudkan dalam hidup beriman kita kepada-Nya. Kita hendak belajar dari bacaan-bacaan leksionaris kita hari ini.

1.       Yeremia 23:23-29
-          Bagian yang kita baca ini adalah peringatan yang disampaikan oleh Yeremia terhadap munculnya nubuat-nubuat sesat dan nabi-nabi palsu yang ternyata meresahkan umat kala itu. Di sini à Nabi Yeremia ingin menegaskan bahwa sebagai umat Allah mereka harus berhati-hati terhadap munculnya nubuat sesat dan nabi palsu tersebut. Dan  sebaliknya, umat hendak diingatkan bahwa hanya Allah lah yang Maha Kuasa, bukan yang lainnya. Kendati para nabi palsu itu mengklaim bahwa mereka berkata-kata menggunakan nama Allah, namun tidak demikian dengan kenyataan yang sesungguhnya.
-          Hanya Allahlah yang Maha Kuasa. Bahkan menarik ada penegasan Yeremia yang menyebutkan bahwa kekuasaan Allah tampak ketika Ia mampu melihat dan mengetahui segala sesuatu bahkan yang tersembunyi sekalipun.
-          Kemahakuasaan Allah ini nampak dari kuasa Firman-Nya. Firman Allah itu seperti api dan palu; firman itu dapat membakar perasaan umatNya (api) dan juga bisa meremukan hati umatNya (palu).
-          Artinya bahwa Allah bangsa Israel tidak bisa dibandingkan dengan allah lain, begitu umat berpaling dan tidak lagi mendengarkan suara Allah maka "teguran" pasti akan diberikan melalui perkataanNya/ sabdaNya/firmanNya, dan ketika umat mendapat teguran hati dan perasaanya bisa jadi panas/seperti mau marah atau malah merasa hancur karena sudah mengeraskan diri seperti batu. Betapa firman Allah itu besar kuasa dan dayanya.

2.       Mazmur 82
-          Mazmur 82 yang menjadi Antar Bacaan kita hari ini juga hendak menegaskan bagaimana pemazmur memiliki sebuah keyakinan/ keteguhan iman bahwa Tuhan Allah Israel adalah Allah yang berkuasa atas yang lain (di sini digunakan istilah allah lain à ‘a’ huruf kecil).
-          Kekuasaan Allah semakin jelas tergambar tatkala Ia disebut sebagai Hakim yang adil yang akan memberikan keadilan kepada mereka memang membutuhkan keadilan tersebut. Dituliskan dalam mazmur mereka antara lain: orang yang lemah, anak yatim, orang yang berkekurangan, orang miskin, juga orang yang sengsara. 

3.       Ibrani 11:29-12:2
-          Kemahakuasaan Allah dalam Surat Ibrani tampak melalui kisah-kisah tokoh masa lalu yang mampu melewati pergumulan mereka… yang tentu saja di dalamnya mereka harus berhadapan dengan situasi yang sulit…penderitaan...
-          Namun luar biasa…Pengalaman iman berjalan dengan Allah, diselamatkan oleh Allah, merasakan kuasa Allah yang mengagumkan, itu yang dititikberatkan dalam bacaan II kita.
-          Ada beberapa contoh dari tokoh masa lalu yang juga dikemukakan oleh penulis surat Ibrani khususnya dalam bacaan kita hari ini, yaitu :
1.       Bangsa Israel. Jika kita mengingat pengalaman bangsa Israel menyeberang laut Teberau, bagaimana kala itu dikisahkan air laut menjadi kering, sehingga umat diselamatkan dari kejaran tentara Firaun;
2.       Pengalaman meruntuhkan tembok Yerikho karena umat mengelilinginya selama 7 hari sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah kepada Yosua. Bagaimana mereka mengandalkan kekuatan Allah dan Allah dengan kemaha kuasaan-Nya bertindak à itu yang utama.
3.       Serta pengalaman Rahab (perempuan sundal/PSK) yang diselamatkan setelah ia menyelamatkan nyawa para pengintai dari kejaran musuh.

-          Melalui kisah-kisah mereka itulah sesungguhnya Paulus hendak menekankan kembali kebenaran akan kuasa Allah dalam diri Yesus Kristus. Kuasa itu hanya dapat dipahami dengan adanya IMAN sebagai bukti dan dasar dari segala sesuatu yang dilakukan/tindakan umat.  Allah telah menyediakan segala sesuatu itu yang lebih baik bagi umatNya, asal umat tetap teguh dalam pengharapan akan iman kepada Tuhan Yesus Kristus.

4.       Lukas 12:49-56
-          Kemahakuasaan Allah tampak ketika Allah mengutus Putera Tunggal-Nya melalui kehadiran sosok Yesus Kristus yang menyelamatkan manusia yang berdosa ini.
-          Kehadiran Kristus itulah yang juga menjadi perenungan bagi kita apakah kita bersedia menerima Yesus dan hidup di jalan-Nya, menyatakan iman kita kepada-Nya atau justru malah sebaliknya. Jika kita menyatakan diri untuk menerima & bersedia hidup di jalan Kristus, maka harus siap menghadapi berbagai hal yang ada di hadapan kita. perlawanan, pemisahan, dan lain sebagainya yang mungkin berat harus kita hadapi.
-          Jika kita sanggup melakukannya maka itulah sesungguhnya makna kemahakuasaan Allah dalam kehidupan kita yang terus dijalani saat ini. 
Relevansi dalam kehidupan kita sehari-hari

§  Itu yang telah dipaparkan oleh Firman Tuhan melalui bacaan Leksionaris kita hari ini. Kita melihat bagaimana Allah sungguh Maha Kuasa dan kemaha kuasaan-Nya tampak melalui berbagai hal yang telah kita lihat dari bacaan kita.  

§  Jika kita telah menyadari betul bahwa Allah kita adalah Allah yang Maha Kuasa maka sudah seyogyanya pula kita pun harus menjadi pribadi-pribadi yang bijaksana yang mencerminkan keteladanan, kasih dan kebesaran Allah dalam hidup kita.  

§  Apa yang kemudian dan seharusnya dapat kita lakukan? Saya merangkumkan dengan 3 T (beberapa waktu lalu 4M, 4D, sekarang cukup 3T)

a)       Tidak hidup berlandaskan keinginan kita sendiri. Namun hidup kita berlandaskan pada Firman Allah dan kehendak-Nya. Ini pertama-tama yang harus kita ingat. Ketika kita telah mengimani kemaha kuasaan Allah dalam hidup kita, maka kita tidak lagi hidup berpatokan pada diri sendiri..kehendakku… namun kita hidup di dalam Dia. Berlandaskan pada Firman Tuhan dan kebenarannya.

Ilustrasi mudahnya adalah sebuah lampu merah. Pengemudi yang tidak memperhatikan lampu lalu lintas seolah "mengundang kecelakaan bagi dirinya."  Siapa pun yang melanggar lampu merah atau tetap berhenti ketika lampu sudah hijau, dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Walaupun lampu merah dapat menghambat laju kendaraan Anda, terutama bila sedang terburu-buru agar segera sampai di tempat tujuan, namun sebuah kecelakaan akan lebih menghambat perjalanan Anda.

Firman Tuhan dan kebenaran-Nya juga memiliki banyak "lampu merah" yang berfungsi untuk mengontrol kehidupan kita sebagai orang Kristen. Ada hal-hal yang harus kita hindari dalam hidup ini : misalnya egois, mementingkan diri sendiri, hidup dengan mengandalkan diri kita sendiri. Namun jika kita berpegang pada Firman Tuhan, maka kita pun  senantiasa diingatkan untuk menampilkan teladan Kristus dalam kehidupan kita.

b)       Teguh dalam iman kita kepada Tuhan. Ini yang harus senantiasa kita lalukan. Kita tidak pernah ragu bahwa Allah sanggup menolong kita umat-Nya dalam berbagai situasi yang kita alami dan hadapi dalam kehidupan kita. tentu saja kita pun harus senantiasa mencari Tuhan dalam hidup kita.

Sungguh menyedihkan jika dalam realitas hidup yang kita jalani ada kecenderungan manusia hanya mencari Tuhan ketika ada keinginan yang harus dipenuhi. Saya kepingin dapet uang banyak….ingin dapet pekerjaan yang enak… yang menghasilkan banyak materi….  Baru cari Tuhan… atau kalau kepepet…lagi banyak masalah… persoalan… baru dehh cari Tuhan… kalau lagi heppy, senang, bahagia… boro-boro inget Tuhan… bersyukur … semuanya lupa….  hal ini tentu harus kita renungkan bersama saudara! Dalam hidup ini kita harus terus mencari Tuhan, tidak hanya dalam keadaan genting, udah kepepet, lagi banyak masalah saja….

Sebagai umat-Nya, kita harus menyadari bahwa kegiatan mencari Tuhan adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti, apalagi jika kita berhenti dengan alasan kita sudah tahu siapa Tuhan. Selama kita masih hidup, selama itu pulalah kita mencari Tuhan.  Mencari Tuhan adalah proses seumur hidup! Dengan kita terus berusaha untuk mencari Tuhan, maka iman kita tidak menjadi iman yang sempit, yang berhenti pada satu titik saja. Iman kita akan terus menerus bertumbuh dan berkembang. Iman kita tidak menjadi iman yang mati melainkan iman yang hidup!

Umat yang dikasihi Tuhan, kalau kita menyadari kemahakuasaan Allah maka kita harus senantiasa hidup teguh dalam iman kepada Tuhan kita Yesus Kristus.  

Ilustrasi yang menolong kita adalah ilustrasi dari seekor burung elang.

-          Seekor elang tahu kapan badai akan tiba.
-          Bila badai itu datang elang akan terbang ke tempat tinggi dan menunggu sampai angin tiba.
-          Ketika badai akhirnya datang, Elang membentangkan sayapnya sehingga angin mengenainya dan mengangkatnya ke atas badai.
-          Di saat badai berkecamuk di bawah, elang melayang di atasnya.
-          Elang tidak lari dari badai. Justru elang menggunakan badai untuk mengangkatnya lebih tinggi.
-          Elang menunggang angin yg mendatangkan badai.


Pembelajaran yang dapat dipetik:  
-          Dalam menjalani hidup ini, saat badai kehidupan melanda, dan kita semua akan mengalaminya, kita dapat naik ke atas badai dengan mengarahkan pikiran dan kepercayaan kita hanya kepada Tuhan.
-          Kita bisa membuat badai tidak menghancurkan kita dengan membiarkan kekuatan Tuhan mengangkat kita ke atas badai.
-          Tuhan membuat kita dapat menunggang angin dari badai yang mendatangkan penyakit, tragedi, kegagalan dan kekecewaan di dalam hidup. Kita dapat melayang di atas badai.
-          Di sini kita belajar dan senantiasa ingat, bahwa bukan beban kehidupan yang menekan kita ke bawah, tapi CARA kita MENANGANInya. Apakah kita telah menyandarkan hidup seutuhnya hanya kepada Allah? Kalau hal tersebut yang terjadi, maka itulah sesungguhnya makna iman. Iman adalah mempercayakan diri.  

c)       Setelah kita teguh beriman maka pada akhirnya kita tiba pada T yang ketiga. Tidak menunda untuk mengambil keputusan dalam hidup kita. Keputusan apa? Tentu saja keputusan apakah kita mau tetap setia dalam iman kita kepada-Nya atau justru malah sebaliknya?

Setia gampang atau sulit? Tentu saja tidak mudah, sulit sekali. Kalau kita mau setia itu berarti konsisten/terus menerus memilih apa yang sejak semula diambil. Ada tiga definisi setia yang muncul:
Setia berarti bersedia menempuh jalan yang sulit, sempit, mendaki, berbatu demi mencapai suatu tujuan luhur yang sejak semula kita kejar. Setia berarti pengurbanan diri dalam menjalani kesetiaan itu.
Setia berarti percaya dan yakin serta berani membayar harga keyakinan tadi untuk sesuatu yang tidak kasat mata.

Memang sulit. Tidak mudah untuk setia, namun bukan berarti tidak mungkin kita coba upayakan terus dalam hidup kita.

Jadi ada 3 T saudara. 1) Tidak hidup berlandaskan keinginan kita sendiri, 2) teguh beriman kepada Allah, 3) tidak menunda keputusan untuk setia dalam hidup kita.  Kiranya 3 T ini dapat kita terapkan dalam hidup kita hari lepas hari. Ini refleksi kita bersama, saya dan saudara sekalian.
Tuhan memberkati kita semua. AMIN