ecclesia reformata semper reformanda

WELCOME

Selamat datang
All of you are invited!!!

blog ini berisikan tentang renungan saya dalam kehidupan sehari-hari
selain itu ada beberapa karya ilmiah saya pada saat saya studi di sekolah teologi.

Semoga mendapatkan berkat melalui blog ini
Tuhan memberkati
HI FRIENDS, WELCOME TO MY BLOG.. I HOPE YOU LIKE IT..GBU ALWAYS

Jumat, 13 Agustus 2010

Refleksi dalam Hidup Bermasyarakat di Indonesia

Yunus belajar menginsafi,
bahwa Allah mengasihi bangsa-bangsa lain-lain
(Salah satu judul perikop dalam kitab Yunus)

            Permasalahan mengenai pertikaian antara suku bangsa di Indonesia menjadi suatu kesedihan yang teramat dalam bagi setiap orang.  Pertikaian ini menimbulkan kerusuhan yang mengakibatkan banyak korban jiwa, dan juga banyak anak-anak kehilangan orang tua atau sebaliknya.  Pertikaian ini seringkali hanya menyangkut masalah perbedaan dalam agama, suku, jenis kelamin, dll.  Hanya karena perbedaan inilah membuat banyak orang bertikai bahkan membunuh orang lain.  Inilah yang membuktikan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia dapat membuat masyarakat menjadi seperti binatang buas.  Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu contoh kejadian di mana perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat digunakan untuk menjadi pemicu kekerasan. Perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia ini seharusnya menjadi kekuatan bukannya menjadi suatu yang dapat menghancurkan. 
Selain itu, etnis Tionghoa-Indonesia Kristen yang juga menjadi bagian di dalam bangsa Indonesia seharusnya menyadari bahwa mereka tidak boleh menutup diri dari orang lain melainkan harus menjalin relasi dengan masyarakat sekitar.  Dengan menutup diri, etnis Tionghoa merasa tidak membutuhkan orang lain dan dianggap sebagai orang yang eksklusif. 
            Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sudah seharusnya etnis Tionghoa ikut berperan serta dalam pelayanan kepada sesama.  Salah satunya dengan program-program gereja.  Bagaimana etnis Tionghoa dapat menghilangkan stigma negatif tentang dirinya apabila mereka sendiri tidak mau menunjukkan identitas mereka kepada masyarakat?
Ada sebagian dari kalangan etnis Tionghoa menganggap orang pribumi lebih rendah daripada mereka, inilah yang harus dihapuskan dari diri mereka karena dengan sikap tidak adanya penghargaan terhadap orang pribumi maka etnis Tionghoa seringkali dianggap sebagai kaum eksklusif.  Etnis Tionghoa juga harus peka terhadap masalah kemanusiaan yang ada di Indonesia.  Mereka seringkali enggan untuk terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan masalah kemanusiaan.  Mereka berpikir bahwa dengan bantuan uang sudah cukup, padahal menurut penulis itu belumlah cukup.  Jika seorang etnis Tionghoa mau dihargai mereka juga harus terlibat secara utuh dalam kegiatan kemanusiaan.  Dengan kepekaan itulah etnis Tionghoa dapat menunjukkan bahwa mereka bukanlah kalangan eksklusif.
            Kerusuhan Mei 1998 ini juga telah membuat mata kita terbuka bahwa peristiwa tersebut menimbulkan duka yang dalam terhadap korban.  Peristiwa ini telah mengingkari hak-hak asasi manusia di mana manusia diperlakukan seperti binatang.  Mereka dibunuh secara keji, pemerkosaan juga terjadi terhadap para perempuan.  Penulis melihat peristiwa ini merupakan kebiadaban dari seseorang yang tidak menghargai nyawa yang telah diberikan Tuhan.
            Bangsa Indonesia seringkali bangga menyebut dirinya sebagai bangsa beragama terlihat dari sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.  Namun, merupakan suatu hal yang aneh apabila karena provokasi dari suatu kelompok masyarakat dengan mudahnya bergerak untuk berbuat kekerasan dan segala bentuk ketidakadilan terhadap suatu golongan tertentu.  Apakah ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama? Kerusuhan Mei 1998 dapat dikatakan merupakan puncak ketidakadilan negara Indonesia kepada bangsanya sendiri.  Kita dapat melihat bentuk-bentuk ketidakadilan yang dilakukan pemerintah dalam membeda-bedakan warganegaranya dalam kebijakan-kebijakan yang rasialis.
Masalah eksklusivitas dan tidak adanya toleransi dengan orang beragama lain atau etnis lain mengingatkan penulis dengan zaman Ezra dan Nehemia.  Mereka berdua adalah dua orang yang sukses dalam membangun Bait Suci kembali dengan seizin pemerintah Persia pada saat itu.  Dalam pembangunan tersebut, mereka memang banyak mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak mendukung pembangunan Bait Suci namun pada akhirnya mereka berhasil juga.  Inilah segi positif mereka dalam memimpin bangsa Israel yang baru kembali dari masa pembuangan.  Selain itu, Nehemia juga digambarkan sebagai seorang pemimpin yang baik, berprinsip, berani, rendah hati, dan belas kasihan dalam orang-orang tertindas. 
Namun ada juga segi negatif dari kedua orang tersebut yaitu mereka juga disebut sebagai bapak fanatisme Yahudi.  Mereka melarang perkawinan campuran, membuat ke-yahudi-an  menjadi agama hukum, pergaulan dengan orang kafir dibatasi, setiap orang Yahudi harus menaati hukum-hukum yang terdapat dalam Pentateukh.  Peraturan dan larangan ini menyebabkan sikap fanatik dan tertutup dalam agama Yahudi.[1]
Dalam konteks inilah yang penulis ingin angkat, yaitu sikap fanatisme dan tidak mau terbuka pada orang lain.  Konteks Ezra dan Nehemia sangat kontekstual dengan keadaan masyarakat Indonesia.  Negara Indonesia adalah negara dengan berbagai suku bangsa.  Apabila sikap fanatisme dan sikap tertutup terhadap keberagaman dikembangkan, maka akan timbullah sikap-sikap anarkis dalam masyarakat.  Keberagaman haruslah diakui dalam konteks masyarakat multikultural.
Sikap fanatisme Ezra dan Nehemia juga ditentang oleh penulis kitab-kitab selanjutnya seperti Rut dan Yunus.  Eksklusivisme Ezra-Nehemia ditentang dengan universalisme Rut dan Yunus.  Dalam Kitab Rut, digambarkan perkawinan campuran antara Rut (perempuan Moab) dan Boas (laki-laki Yahudi) yang oleh Ezra-Nehemia ditentang keras.  Penulis kitab Rut hendak mengimbangi pandangan nasionalisme yang sempit dengan universalisme yang luas.  Dalam kitab Rut diperlihatkan bagaimana Boas  memperlihatkan sikap adil terhadap orang asing. Rut, seorang bangsa Moab, diizinkan ikut memunguti sisa-sisa bulir jelai yang jatuh di ladang Boas (Rut 2). Pesan kitab Rut kita temukan pada bagian akhir kitab tersebut, melalui silsilah keturunan Rut yang dicantumkan oleh si penulis (Rut 4:17-22). Silsilah itu menunjukkan bahwa Daud, raja Israel yang sangat dihormati, adalah seorang “keturunan asing”. Orang-orang keturunan asing inilah yang dipermasalahkan oleh Ezra-Nehemia yang mengagung-agungkan “kemurnian” darah Yahudi. 
Sikap fanatisme yang dilakukan oleh Ezra-Nehemia untuk memurnikan bangsa Israel secara tidak langsung digagalkan oleh kitab Rut.  Melalui kitab Rut, raja yang terbesar dari bangsa Israel adalah seorang keturunan asing.  Oleh karena itu, sikap tertutup terhadap orang asing karena dianggap dapat merusak wibawa bangsa pilihan dikritik oleh penulis kitab Rut.  Dengan ini, penulis kitab Rut menyatakan bahwa universalitas terhadap bangsa-bangsa lain diperlukan dalam hubungan hidup berbangsa dan bertanah air.
Selain Kitab Rut, contoh lainnya adalah kitab Yunus.  Kitab Yunus juga memuat kritikan penulisnya terhadap pandangan nasionalisme yang sempit.  Diceritakan bahwa Yunus tidak menyukai pengampunan Allah kepada bangsa Niniwe karena mereka adalah bangsa kafir yang harus dihukum. Namun, Allah mengampuni mereka karena mereka meminta ampun kepadaNya (Yun 3:5-10).  Pengampunan Allah ini mengesalkan hati Yunus,  dan meminta Tuhan mencabut nyawanya (Yun 4:1-3).  Namun pada akhir cerita penulis kitab Yunus hendak memberitahukan kepada pembaca bahwa Tuhan mencintai semua bangsa ciptaan-Nya (Yun 4:11).  Cerita Yunus juga mengandung kritik terhadap sikap fanatisme dan ketertutupan dari suatu bangsa.  Cerita ini bermaksud mengkritik sikap orang Yahudi setelah zaman pembuangan yang merasa sebagai umat milik Allah secara khusus dan tidak menerima kalau para musuh mereka (bukan Yahudi) juga perlu mendapat keselamatan dari Allah.  Melalui kitab Rut dan Yunus keempat penulis tersebut hendak mengembalikan Israel pada panggilan semula yaitu menjadi ber­kat bagi bangsa-bangsa di dunia.  Oleh sebab itu pemikiran Ezra-Nehemia yang bersikap fanatis dan tertutup haruslah kita tolak dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dilakukan penulis-penulis kitab Rut dan Yunus.
Kita belajar melalui penulis kitab Yunus dan Rut bahwa sikap terbuka akan perbedaan merupakan hal yang penting dalam menjalani kehidupan berbang­sa di Indonesia.  Apabila sikap fanatisme dan tertutup berkembang pesat di Indonesia maka yang akan banyak terjadi kerusuhan seperti kerusuhan Mei 1998.  Sikap tertutup akan suatu perbedaan telah dilakukan pemerintah Orde Baru yang memaksakan etnis Tionghoa berasimilasi secara total dengan masayarakat lain.  Inilah yang menurut penulis sebagai nasionalisme yang sempit.  Melalui Kitab Rut dan Yunus kita dapat melihat bahwa seorang asing pun dapat membawa berkat kepada bangsa lain.  Selain itu Allah hendak menyatakan bahwa Allah mengasihi semua bangsa dan tidak membeda-bedakan bangsa ciptaan-Nya.   
            Kerusuhan Mei 1998 dapat dikatakan puncak ketidakadilan bangsa Indonesia kepada warga keturunan Tionghoa.  Mereka diperlakukan tidak adil bahkan seringkali disebut sebagai sapi perah karena dianggap sebagai orang kaya.   Dalam hubungannya dengan keadaan sekarang, sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat tidak melakukan ketidakadilan terutama pada kaum minoritas.  Seha­rusnya masyarakat Indonesia menyadari bahwa kita haruslah berbuat baik dan mengusahakan keadilan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan statusnya.  Apalagi semboyan yang seringkali kita agung-agungkan yaitu Bhinneka Tunggal Ika menyatakan bahwa “walaupun berbeda-beda namun satu jua.”  Namun kenya­taannya seringkali tindakan manusia mengingkari falsafah tersebut.     
            Keberagaman merupakan hal yang harus dihargai oleh masyarakat Indonesia.  Jika kita tidak mengindahkan keberagaman tersebut maka negara Indonesia akan hilang seperti negara Yugoslavia.  Menurut penulis, perbedaan-perbedaan yang ada dalam negara Indonesia haruslah dihargai.  Perbedaan-perbedaan ini bukan dalam faktor ekonomi melainkan faktor etnis, agama, dll.  Apabila perbedaan-perbedaan tersebut tidak diayomi dengan kebijakan yang adil, maka kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu jawabannya.
            Namun penulis berpikir, mengapa korban besar dalam kerusuhan Mei 1998 adalah kalangan Tionghoa bukan Arab atau India?  Apakah karena orang Arab beragama Islam? Apakah orang India sudah berbaur dengan orang pribumi? 
Apakah karena orang Tionghoa lebih kaya dari orang pribumi?  Bagi penulis, ketidakadilan pemerintah dan mudahnya masyarakat terprovokasi oleh pemerintah merupakan salah satu awal dari kerusuhan Mei 1998.  Namun apakah ini berarti etnis Tionghoa sudah melakukan keadilan dengan lingkungan sekitarnya?  Menu­rut penulis, etnis Tionghoa masih enggan untuk terlibat dalam setiap kegiatan yang dapat membuat mereka berhubungan langsung dengan orang pribumi.  Me­reka masih enggan untuk terlibat dalam acara gereja.  Mereka hanya berpikir bahwa jika menyumbang uang berarti sudah memberi bantuan.  Memang, bantuan berupa uang dapat dikatakan merupakan sebuah bantuan, tetapi uang ini tidak membuat etnis Tionghoa dapat berhubungan langsung dengan orang pribumi dalam acara-acara gereja yang berkaitan erat dengan masalah pembauran.
            Seharusnya etnis Tionghoa mau terlibat dalam acara-acara tersebut.  ini hendak menyatakan bahwa semua orang termasuk etnis Tionghoa-Indonesia Kristen haruslah berbuat kebaikan terhadap sesama.  Etnis Tionghoa seharusnya menyadari bahwa uang bukanlah cara bantuan yang efektif untuk menunjukkan identitas mereka kepada masyarakat.  Jika etnis Tionghoa hanya melihat dengan uang berarti sudah membantu, maka bantuan tersebut dapat menjadi bumerang bagi mereka karena mereka akan dicap sebagai orang kaya tetapi tidak mau ber­gaul.  Sebagai orang Tionghoa-Indonesia Kristen,  kita harus memerjuangkan keadilan bagi kaum marginal karena mereka juga ciptaan Allah.  Kata perjuang­kan ini berarti bukan hanya materi saja melainkan juga dengan bantuan tenaga.
            Penulis juga melihat bahwa seseorang tidak boleh merendahkan orang yang lemah baik dalam sosial, ekonomi, fisik, dsb.  Sebagai contoh orang kaya tidak boleh merendahkan orang miskin, orang yang mempunyai talenta lebih tidak boleh merendahkan orang yang hanya mempunyai satu talenta, dsb.  Melalui cerita dalam kitab Yunus dan Rut, bangsa Indonesia diingatkan bahwa keberagaman di Indonesia perlulah diakui dan setiap anggota masyarakat haruslah saling menghargai dan membantu dan tidak melakukan ketidakadilan terhadap suatu golongan tertentu.  Jika ini dilakukan maka bentuk-bentuk ketidakadilan, pelecehan hak-hak asasi manusia, dan perendahan terhadap suatu etnis tertentu dapat dijauhkan dalam kehidupan sehari-hari. 
             Melalui kerusuhan Mei 1998 ini, kita belajar bahwa perbedaan tidak boleh dipaksakan untuk disatukan, melainkan dengan menghormati perbedaan-perbedaan tersebut kita dapat memahami bahwa Allah telah menciptakan kita sebagai anggota-anggota untuk melayani, saling membantu, saling menolong, menghargai, dan mengormati agar semua anggota dapat bersuka cita.
Penulis teringat dengan lagu dari Michael Jackson yaitu ‘heal the world’ yang intinya mengharapkan dunia yang penuh kedamaian tanpa adanya pepe­rangan. Menurut penulis, inti lagu tersebut ada di perkataan Heal the world, make it a better place for you and for me and the entire human race.  Penulis melihat bahwa lagu tersebut berisikan pesan yang sangat baik kepada bangsa Indonesia.  Sudah seharusnya sebagai seorang warganegara yang mengenal Tuhan, kita menciptakan dunia yang penuh kedamaian untuk anak dan cucu kita.  Kerusuhan Mei 1998 haruslah menjadikan pelajaran bahwa ketidakadilan, pelecehan terhadap hak asasi manusia, tidak adanya toleransi antar-etnis maupun agama harus di­jauhkan dari kehidupan sehari-hari.  Etnis Tionghoa-Indonesia Kristen pada khu­susnya haruslah ikut terlibat dalam masalah kemanusiaan dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja.  Bersama-sama sebagai Bangsa Indonesia kita harus membuat negara Indonesia sebagai negara yang baik untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang ada.   


[1] S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 263.

Tidak ada komentar: