Hidup bermasyarakat di Indonesia tidak terlepas dari hubungan antaretnis. Maksudnya adalah Indonesia sebagai sebuah negara yang multikultur mempunyai masyarakat yang berbeda dari warna kulit, bahasa, dan budaya sehingga hubungan atau kontak antar-etnis selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kontak sehari-hari tidak dapat dihindari adanya gesekan-gesekan antar-individu yang kadangkala membawa-bawa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Gesekan-gesekan ini dapat berakibat fatal sehingga dapat mengakibatkan kerusuhan yang dapat merugikan masyarakat Indonesia.
Etnis Tionghoa sebagai salah satu bagian dari masyarakat Indonesia sering mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Ini dapat kita lihat dalam sejarah perjalanan etnis Tionghoa di Indonesia. Pada masa kolonialisme, di mana etnis Tionghoa diperlakukan tidak adil bahkan dibunuh secara besar-besaran dalam suatu peristiwa pada tahun 1740. Etnis Tionghoa juga diadu domba dengan penduduk pribumi dengan peraturan-peraturan yang memisahkan ras. Pada masa Orde Lama, etnis Tionghoa juga tidak terlepas dari perlakuan diskriminatif saat Orde Lama menggunakan Sistem Benteng dan melarang pedagang Tionghoa berjualan di desa-desa. Pada masa Orde Baru lebih banyak lagi peraturan-peraturan diskriminatif yang dikeluarkan karena kebijakan asimilasi total dari pemerintah.
Etnis Tionghoa seringkali dianggap sebagai etnis yang eksklusif, tidak mau bergaul, tidak nasionalis, kaya, koruptor. Stigma negatif yang berkembang dalam masyarakat tidak dapat disangkal menjadi bibit diskriminasi antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya. Stigma negatif ini menyamaratakan seluruh orang Tionghoa seperti yang disebutkan di atas walaupun tidak sepenuhnya itu benar. Selain itu, masyarakat seringkali meragukan loyalitas etnis Tionghoa sehingga pemerintah Orde Baru antara lain mengharuskan mereka mempunyai SBKRI. Menurut Kymlicka sentimen seperti inilah yang menyebabkan terjadinya diskriminasi.
Menurut Frans H. Winarta, terjadinya diskriminasi di Indonesia pada masa Orde Baru dikarenakan pemerintahan Orde Baru tertutup dan tidak pernah membicarakan mengenai perbedaan dan pluralisme secara terbuka dan fair sehingga menimbulkan suatu sumber konflik yang dapat meledak sewaktu-waktu. Pemerintah Orde Baru memaksakan kebijakan asimilasi total kepada etnis Tionghoa untuk meleburkan perbedaan tersebut. Namun, kebijakan asimilasi total, menurut penulis, adalah sebuah kebijakan yang hendak menghapuskan sebuah etnis dalam masyarakat (genosida etnis).
Lalu apakah asimilasi menjadi sebuah jalan untuk menghapuskan diskriminasi etnis? Asimilasi merupakan salah satu bentuk hubungan antaretnik atau ras dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh upaya mengurangi perbedaan-perbedaan di antara mereka demi meningkatkan kesatuan tindak dan sikap untuk mencapai tujuan bersama. Asimilasi juga berarti pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama. Namun Pemerintah Orde Baru gagal dalam menerapkan asimilasi dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.
Menurut penulis, kebijakan asimilasi bukanlah sebuah jalan untuk menghapuskan diskriminasi. Kebijakan asimilasi biasanya dipahami sebagai suatu upaya kelompok minoritas melebur ke dalam kelompok mayoritas. Oleh karena itu, penulis tidak menyetujui kebijakan asimilasi yang mengharapkan suatu etnis untuk melebur menjadi satu sampai etnis tersebut hilang identitas awal mereka seperti budaya mereka. Penulis lebih setuju pada paham multikulturalisme yang tidak memaksakan untuk menyatukan perbedaan melainkan menghargai perbedaan yang ada dalam setiap suku bangsa di Indonesia. Pengakuan akan multikulturalisme di Indonesia sangatlah penting karena Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Pengakuan ini juga merupakan sebuah cara untuk menghilangkan praktik diskriminasi.
Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan orang lain. pernyataan ini tidak dapat disangkal lagi. Oleh karena itu sikap diskriminatif haruslah dijauhkan dalam kehidupan sehari-hari. Etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia seharusnya juga menyadari bahwa mereka harus terlibat dalam relasi dengan sesamanya tanpa memandang SARA. Politik multikulturalisme ini tak dapat dijalankan dengan baik apabila adanya ketakutan kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lainnya (heterofobia). Dengan adanya heterofobia ini kontak tidak maju karena rasa takut menghalangi. Tanpa adanya kontak maka relasi tidak mungkin terjalin dan akan selalu timbul stigma atau stereotip.
Menurut penulis, etnis Tionghoa di Indonesia perlu menyadari bahwa mereka hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk sehingga mereka perlu menjalin relasi terhadap etnis lain bukan dengan etnis Tionghoa saja. Ini diperlukan untuk menghilangkan perlakuan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Pramoedya Ananta Toer mengatakan kalau golongan minoritas itu kuat, masyarakat tentu saja akan kehilangan nafsu-nafsu rasialnya. Maksudnya adalah kuat dengan berani menunjukkan identitas diri terhadap masyarakat luas. Penunjukan identitas etnis ini salah satunya adalah mau berelasi terhadap etnis lain dalam setiap kegiatan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar