“pak, kok sekarang GKI mengadakan Rabu Abu,
kok jadi seperti Katholik ya?”
Pertanyaan tersebut ditanyakan oleh salah
satu jemaat GKI Kebonjati kepada saya.
Mungkin ini juga menjadi pertanyaan bagi kita, apa itu Rabu Abu? Mengapa
di beberapa gereja GKI diadakan perayaan Rabu Abu? Apa makna teologis dalam
Rabu Abu?
Di dalam Tata Gereja GKI Pasal.13,
di dalamnya tercakup Kebaktian Rabu Abu yang dikelompokkan dalam kebaktian hari
raya gerejawi. Selaku jemaat, kita
mengenal masa Pra-Paska selama 6 minggu. Dahulu masa Pra-Paska dilaksanakan
selama 7 minggu. Perubahan ini sering membingungkan jemaat. Mengapa dari yang
semula 7 minggu kemudian berubah menjadi 6 minggu? Penyebab perubahan adalah
karena beberapa gereja Protestan di Indonesia belum mengenal Rabu Abu. Masa
Pra-Paska yang seharusnya dimulai pada hari Rabu digeser ke hari Minggu yang terdekat,
sehingga Pra-Paska menjadi 7 minggu.
Masa Pra Paska di GKI kini
mengikuti jejak gereja-gereja lainnya, yaitu dengan memeringatinya selama enam
minggu, atau tepatnya empat puluh hari. Perhitungan ini tidak termasuk hari
Minggu, sebab umat Tuhan tidak pernah berpuasa pada hari Minggu. Tiap hari
Minggu adalah peringatan hari kebangkitan Tuhan. Dengan demikian, masa Pra
Paska berjumlah 6 minggu (6 x 6 = 36 hari) ditambah empat hari. Jadi hari
pertama masa Pra Paskah jatuh pada hari Rabu. Inilah yang diperingati sebagai
Rabu Abu. Menurut kalender gereja secara
ekumenis, Rabu Abu sebagai pembuka masa Pra-Paska, untuk tahun ini jatuh pada
tanggal 22 Februari 2012.
Bapa Pius Parsch, dalam bukunya
“The Church’s Year of Grace” menyatakan bahwa “Rabu Abu Pertama” terjadi di
Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa
mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Biasanya
pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, “Ingatlah, kita ini abu dan
akan kembali menjadi abu” (Kej. 3:19) atau “Bertobatlah dan percayalah kepada
Injil”.
Gereja-gereja Tuhan di dunia
dalam berbagai denominasi umumnya kini melaksanakan kebaktian Rabu Abu, sebab
selain Rabu Abu sebagai pembuka masa Pra-Paska, juga karena makna teologisnya.
Makna teologis yang terdalam dari rabu Abu adalah umat percaya mengungkapkan
sikap penyesalan dan pertobatannya (2 Samuel 13:19, Yunus 3:5-6, Ratapan 2:10,
Daniel 9:3-6). Sikap Penyesalan dan pertobatan umat didasarkan kepada kesadaran
akan kefanaannya sebagai makhluk. Itu sebabnya pada hari Rabu Abu, gereja
menggunakan abu untuk menyatakan hakikat manusia yang fana dan lemah (Mazmur
103:14, bdgk.Kejadian 2:7). Sehingga jelaslah bahwa Rabu Abu dan Pra-Paska
merupakan masa di mana gereja menyadari keberdosaan dan kefanaan diri serta
kebergantungannya pada rahmat Tuhan.
Penggunaan abu dalam liturgi
berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan,
ketidakabadian, dan sesal/tobat. Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu
ketika ia mendengar perintah Raja berniat membunuh semua orang Yahudi (Est 4:
1). Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42: 6). Lalu
aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil
berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu (Dan 9: 3). Sesudah Yunus
menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe
memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan
kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3: 5-6).
Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk
alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia",
Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah
"hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu."
Eusebius (260-340), sejarawan Gereja perdana menceritakan dalam bukunya
"Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang
kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon
pengampunan
Dalam perayaan Rabu Abu,
digunakan abu yang berasal dari hasil menyangrai daun-daun palma kering yang
ditumbuk halus yang telah diberkati pada tahun sebelumnya. Menurut sejarah tradisinya, dalam ibadah Rabu Abu
dilaksanakan upacara khusus pembubuhan abu di kepala sebagai simbol ungkapan
pertobatan dan tanda penyesalan akan dosa-dosa. Pembubuhan abu di dahi
dilakukan oleh Pendeta atau umat sendiri sebelum prosesi keluar. Abu dibubuhkan
di dahi dengan bentuk salib.. Dari hari Rabu Abu, minggu-minggu Pra-Paska
sampai hari raya Paska ada waktu 40 hari, dipakai oleh umat untuk berpuasa
secara khusus. Angka 40 hari ini diambil dari 40 hari Tuhan Yesus berpuasa.
Sebagai milik Kristus (serupa dengan Kristus), maka jemaat diajak untuk
memahami makna tersebut.
Tradisi puasa umat
Protestan juga bukan sekedar ibadah yang “ikut-ikutan” dengan saudara-saudara
kita umat Katolik atau agama lainnya. Kita melaksanakan puasa karena
sesungguhnya puasa dipakai oleh Tuhan untuk melatih rohani kita agar spiritualitas
kita semakin terbuka untuk menghayati pertobatan sebagai sikap hidup.
Pertobatan yang dimaksud adalah agar kehidupan kita makin berkenan di hati
Tuhan dan setia memelihara kekudusan hidup. Itulah sebabnya makna pertobatan
bukan terletak pada upacara lahiriah dan kebiasaan keagamaan, melainkan pada
pertobatan hati. Yoel 2:13 berkata: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu”.
Jadi yang dikehendaki oleh Tuhan dalam ibadah puasa adalah “hati yang mau
dikoyakkan” sehingga kita dengan sungguh-sungguh menyesali semua kesalahan dan
dosa kita.
Sering kali makna puasa hanya
dihayati sebagai bentuk kesalehan pribadi. Padahal Tuhan menghendaki agar kita
selaku pribadi dan selaku persekutuan umat konsisten dalam memberlakukan
kekudusan hidup. Itulah sebabnya sejak dahulu, selama masa Pra Paskah,
gereja-gereja Tuhan senantiasa memotivasi dan memberlakukan puasa kepada
seluruh anggota jemaat agar mereka, selaku persekutuan yang telah ditebus oleh
Kristus, sungguh-sungguh mau setia untuk memelihara hidup kudus dengan sikap
bertobat. Kita sungguh-sungguh berdamai dengan Allah yang akan memampukan kita
untuk berdamai dengan diri sendiri dan berdamai dengan sesama
Bentuk puasa yang diusulkan adalah sikap menyangkal diri terhadap
hal-hal yang begitu digemari oleh umat. Sehingga umat mulai Rabu Abu sampai
menjelang Paska dapat menghindari hal-hal yang selama ini mengikat atau menjadi
ketergantungan, misalnya terhadap kebiasaan merokok, minum anggur, makan
makanan lezat, sikap yang konsumtif. Juga umat belajar menyangkal diri secara
intensif terhadap kebiasaan buruk seperti marah, iri hati, sombong, tamak, malas,
nafsu syahwat, dan pelahap. Semua tindakan puasa tersebut diharapkan
menghasilkan sikap pembaruan hidup. Karena ciri utama dari pengikut Tuhan Yesus
adalah sikap pertobatan yang dinyatakan dalam pembaruan hidup.
Sumber
bacaan
Pdt. David Roestandi Surya Sutanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar