ecclesia reformata semper reformanda
WELCOME
Selamat datang
All of you are invited!!!
blog ini berisikan tentang renungan saya dalam kehidupan sehari-hari
selain itu ada beberapa karya ilmiah saya pada saat saya studi di sekolah teologi.
Semoga mendapatkan berkat melalui blog ini
Tuhan memberkati
Selasa, 13 Desember 2011
Kekayaan, Kesuksesan dan Kasih Sayang
Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang ke rumah dari perjalanannya keluar rumah, dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua.
Wanita itu berkata dengan senyumnya yang khas: “Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti orang baik-baik yang sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk mengganjal perut”.
Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, “Apakah suamimu sudah pulang?”
Wanita itu menjawab, “Belum, dia sedang keluar”.
“Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali”, kata pria itu.
Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, “Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini”.
Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam.
“Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama”, kata pria itu hampir bersamaan.
“Lho, kenapa? tanya wanita itu karena merasa heran.
Salah seseorang pria itu berkata, “Nama dia Kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, “sedangkan yang ini bernama Kesuksesan, sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. Sedangkan aku sendiri bernama Kasih-Sayang. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk ke rumahmu.”
Wanita itu kembali masuk kedalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa heran. “Ohho…menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”
Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen ladang pertanian kita.”
Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. “Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Kasih-sayang yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Kasih-sayang.”
Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. “Baiklah, ajak masuk si Kasih-sayang ini ke dalam. Dan malam ini, Si Kasih-sayang menjadi teman santap malam kita.”
Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. “Siapa diantara Anda yang bernama Kasih-sayang? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini.”
Si Kasih-sayang berdiri, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si Kekayaan dan si Kesuksesan.
“Aku hanya mengundang si Kasih-sayang yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?”
Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan. “Kalau Anda mengundang si Kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si Kasih-sayang, maka, kemana pun Kasih sayang pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Dimana ada Kasih-sayang, maka kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami berdua ini buta. Dan hanya si Kasih-sayang yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini.” [Sumber cerita Tadeus Tamar- http://sumberkristen.com]
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Matius 6:33
Kamis, 10 November 2011
BERBAHAGIALAH ORANG YANG LAPAR DAN HAUS AKAN KEBENARAN KARENA MEREKA AKAN DIPUASKAN (Mat 5:6)
BERBAHAGIALAH ORANG YANG LAPAR DAN HAUS AKAN KEBENARAN
KARENA MEREKA AKAN DIPUASKAN
(Mat 5:6)
Khotbah di bukit ditujukkan kepada orang-orang yang sudah menyangkal diri dan sudah mengetahui akan kebenaran Kristus. Khotbah di bukit ditujukan kepada segelintir orang namun menjadi informasi terbuka bagi orang lain. Jadi orang lain tahu bagaimana mereka akan dituntut hal seperti ini jika ingin mengikuti Yesus. Oleh karena itu sangat wajar saat Mahatma Gandhi kecewa dengan orang-orang Kristen, karena menurutnya seharusnya orang yang telah mengakui dirinya sebagai murid Kristus mengikuti perkataan-perkataan di dalam Khotbah di bukit.
Pada ayat keenam, ini merupakan ayat dimana seorang pengikut Kristus haruslah mencari kebenaran akan Kristus di dalam hidupnya. Mengapa kebenaran digambarkan sebagai lapar dan haus? Karena biasanya orang lapar dan haus akan mencari terus menerus sehingga dia dipuaskan. Ayat ini hendak menggambarkan seorang pengikut Kristus haruslah haus dan lapar akan kebenaran Kristus dan mencari terus menerus kebenaran tersebut. Hidup yang terus menerus mencari kebenaran di dalam Allah akan membuat mereka dipuaskan. Pencarian disini berarti seseorang yang terus menerus mau belajar menumbuhkan karakter Kristus di dalam kehidupannya.
Kelaparan dan kehausan pada saat itu adalah sebuah konteks di jaman Yesus, di mana masyarakat pada saat itu ketakutan untuk kekurangan makanan dan minuman. Oleh karena itu, perkataan ini adalah sebuah tantangan dari Yesus seberapa besarkah kesungguhan kita untuk mencari kebenaran dan hidup dalam kebenaran tersebut?
Ayat ini termasuk salah satu ayat yang terpenting dalam Khotbah di Bukit. Mengapa? Karena ini merupakan syarat dasar dari semua kehidupan saleh. Kondisi rohani orang Kristen seumur hidup mereka akan tergantung pada rasa lapar dan dahaga mereka akan:
(a) kehadiran Allah (Ul 4:29),
(b) Firman Allah (Mazm 119:1-176),
(c) hubungan dengan Kristus (Fili 3:8-10),
(d) persekutuan Roh Kudus (Yoh 7:37-39; 2Kor 13:14),
(e) kebenaran (Mat 5:6),
(f) kuasa kerajaan (Mat 6:33) dan
(g) kedatangan Tuhan kembali (2Tim 4:8).
Banyak hal yang membuat manusia tidak mau mencari kebenaran akan Kristus lagi yaitu Kelaparan orang Kristen terhadap godaan dan tawaran duniawi, tipu daya kekayaan (Mat 13:22), keinginan akan berbagai hal (Mrk 4:19), kenikmatan hidup (Luk 8:14), dan kegagalan untuk tetap tinggal dalam Kristus.
Pada saat kelaparan orang percaya akan Allah dan kebenaran-Nya sudah tidak ada lagi, mereka akan mati secara rohani. Oleh karena itu adalah sangat penting bahwa kita peka terhadap pekerjaan Roh Kudus yang menginsyafkan kita (bd. Yoh 16:8-13; Rom 8:5-16).
Orang yang haus dan lapar akan kebenaran berarti mewujudnyatakan kebenaran itu dalam kehidupannya bukan setengah-setengah saja. Misalkan hanya hidup benar kalau di gereja saja, sedangkan di luar gereja hidup tidak benar tidak apa-apa. Tentu saja bukan seperti itu, Yesus menginginkan pengikutnya melakukan kebenaran bukan hanya sebagian tetapi keseluruhan hidup untuk benar di hadapan Allah. ini juga berhubungan dalam hidup sesama, agar setiap sesama kita diperlakukan adil di dalam kehidupannya.
Di dalam buku Josep Langford “Ibu Theresa:Secret Fire” diceritakan bagaimana Ibu Theresa menggambarkan Allah yang kehausan. Kehausan akan apa? Kehausan akan upaya kita untuk bertobat dan menjalin kasih kepada sesama kita. Allah haus akan pertobatan kita dari ketidakpedulian kita, kekerasan hati kita. Oleh karena itu puaskanlah dahaga Allah dengan menjadikan hidup kita selalu dalam kebenaran akan Kristus dalam kehidupan kita.
Seperti halnya kita haus akan air, demikianlah pula kita harus merasa haus akan Kristus
-Mother Theresa-
Sabtu, 22 Oktober 2011
KEJUJURAN SEBAGAI SUATU IDENTITAS KEKRISTENAN
kejujuran berarti suatu keselarasan antara pikiran, perkataan, dan tindakan yang menunjukkan kebenaran. Di dunia yang kita hidupi sekarang banyak orang yang memiliki filosofi “berbohonglah ketika anda harus berbohong.” Filosofi ini banyak yang membuat seseorang kaya secara materi tapi miskin secara karakter. Banyak pula orang yang berusaha menggunakan berbagai cara untuk mencapai suatu kekuasaan. Oleh karena itu banyak orang yang memilih untuk tidak jujur untuk mencapai sebuah kesuksesan.
Makna kejujuran adalah
1. Kejujuran berarti menjadi asli apa adanya diri anda tanpa ada kepalsuan
2. Kejujuran sebagai suatu integritas dalam kehidupan kita
3. Kejujuran ini penting karena membuat kita hidup dan bertindak secara konsisten
4. Kejujuran membuat kita dipercayai dalam setiap tindakan kita
5. Bersikap jujur berarti anda tidak perlu takut dinilai orang lain
Menurut Benjamin Franklin Kejujuran merupakan kebijakan terbaik. Walaupun kejujuran dan ketulusan akan membuat kedudukan anda lemah tetapi tetaplah bersikap jujur dan tulus. Di dalam (Amsal 19:22) Sifat yang diinginkan pada seseorang adalah kesetiaannya; lebih baik orang miskin daripada seorang pembohong. Seorang pembohong membuat dia kehilangan integritasnya. Di dalam Amsal ini dengan jelas status seorang pembohong lebih rendah daripada seorang yang miskin.
Bobby Jones seorang pegolf telah menjadi teladan pada pertandingan golf dalam final US Open. Dia jujur tidak sengaja menggerakkan bolanya padahal penonton dan wasit tidak melihat bola itu bergerak. Peristiwa ini membuat dia kalah dalam final tersebut. Bobby Jones memang kalah dalam final tersebut tetapi tidak kehilangan integritasnya. Kejujurannya membuat dia dikenang bahkan namanya dijadikan award dalam setiap pertandingan golf. Integritasnya membuat dia dihargai dan dikenang. Juara US Open pada saat itu kalah tenar oleh kejujuran yang dibuat oleh Bobby Jones.
Mengapa kita harus jujur?
· Hanya dengan hidup jujur kita dapat semakin bermartabat di mata orang lain
· Jangan pernah berjanji jika anda tidak berniat menepatinya
· Bila anda selalu berkata jujur anda tidak akan pernah terjebak dalam kebohongan
· Hidup akan lebih tentram dan nyaman bila kita tak menyembunyikan kesalahan
Kejujuran adalah modal utama untuk dipercayai bagi para pengikut Kristus. Tuhan Yesus bukan hanya ingin kita beriman kepadaNya saja, tetapi juga suatu perbuatan yang dipraktekkan melalui kejujuran. Pada saat kita menjadi manusia baru, berarti seperti yang terdapat di dalam (Kolose 3:9) Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya. Seorang pengikut Kristus berarti dia harus berani untuk jujur dalam kehidupannya
Membangun karakter kejujuran
· Diawali dari kebiasaan. Jadikan kejujuran sebagai kebiasaan kita
· Kejujuran sebagai salah satu karakter yang menunjukkan integritas diri kita
· Kejujuran bukanlah hanya diucapkan tetapi dilakukan
· Kejujuran merupakan dasar dalam membangun sebuah relasi. Relasi adalah sebuah dasar untuk membangun sebuah kesuksesan
Ø Percayakah dengan kita hidup jujur maka kita mampu mengubah dunia?
Ø Percayakah bahwa dengan menyebarkan benih-benih kejujuran dengan lingkungan kita maka kita satu langkah untuk menciptakan kejujuran di di dunia?
Saya mungkin tidak mampu mengubah dunia yang saya lihat di sekeliling saya, namun saya bisa mengubah apa yang saya lihat dalam diri saya.
-John Maxwell-
Kalau kita yakin akan kemampuan untuk hidup jujur dalam diri kita berarti kita telah satu langkah untuk menciptakan kejujuran dalam dunia ini. Kejujuran adalah bukti bahwa kita memiliki identitas kekristenan. Jujur harus dilakukan dalam setiap aspek dalam hidup kita, dalam rumah tangga, pekerjaan, lingkungan masyarakat dan juga di dalam gereja. Banyak tawaran dan godaan yang membuat kita memilih untuk tidak jujur. Jika kita tidak memiliki integritas maka kita akan dengan mudah kompromi pada saat godaan atau tekanan dan mengorbankan nilai-nilai kita.
Apakah kita boleh berbohong? Jujur tetap adalah sebuah keharusan, namun ada berbagai kasus dimana kita tidak bisa jujur karena suatu hal, misalkan menyampaikan vonis kanker terhadap suami, atau istri kita, mungkin kita akan memilih untuk berbohong agar bisa melihat kesiapan hati orang tersebut. Dalam beberapa kasus kita terpaksa berbohong. Dalam hal ini masih dapat dimaklumi. Namun kebohongan yang menyangkut dengan ego kita haruslah ditolak.
Pengikut Kristus haruslah memberikan teladan, terutama menyangkut aspek kejujuran. Bagaimana kita bisa menjadi garam dan terang dunia jika kita tidak menjadi teladan. Ubahlah diri kita maka kita dapat mengubah dunia. Amin
Kamis, 02 Juni 2011
Pidato mantan Presiden B.J. Habibie dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni
TEMPO Interaktif, Jakarta -
Pidato mantan Presiden B.J. Habibie dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, mendapat apresiasi luar biasa. Saat berpidato di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua MPR Taufiq Kiemas, sejumlah mantan Wakil Presiden, serta pejabat lainnya di Gedung MPR, Rabu, 1 Juni 2011, Habibie membacakan pidatonya dengan berapi-api. Hadiri pun tampak terpukau.
Inilah isi pidato lengkap Habibie itu.Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Yth. Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
Yth. Presiden ke-5, Ibu Megawati Soekarnoputri
Yth. Para mantan Wakil Presiden
Yth. Pimpinan MPR dan Lembaga Tinggi Negara lainnya
Bapak-bapak dan Ibu-ibu para anggota MPR yang saya hormati
Serta seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai,
Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.
Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?
Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?
Para hadirin yang berbahagia,
Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.
Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.
Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!
Para hadirin yang berbahagia,
Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.
Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.
Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.
Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Para hadirin yang berbahagia,
Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini?
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru".
Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari "added cost". Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan kita.
Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.
Para hadirin yang saya hormati,
Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.
Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.
Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamu ‘alaikum wr wb.
Jakarta 1 Juni 2011
Bacharuddin Jusuf Habibie
Pidato mantan Presiden B.J. Habibie dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, mendapat apresiasi luar biasa. Saat berpidato di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua MPR Taufiq Kiemas, sejumlah mantan Wakil Presiden, serta pejabat lainnya di Gedung MPR, Rabu, 1 Juni 2011, Habibie membacakan pidatonya dengan berapi-api. Hadiri pun tampak terpukau.
Inilah isi pidato lengkap Habibie itu.Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Yth. Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
Yth. Presiden ke-5, Ibu Megawati Soekarnoputri
Yth. Para mantan Wakil Presiden
Yth. Pimpinan MPR dan Lembaga Tinggi Negara lainnya
Bapak-bapak dan Ibu-ibu para anggota MPR yang saya hormati
Serta seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai,
Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.
Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?
Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?
Para hadirin yang berbahagia,
Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.
Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.
Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!
Para hadirin yang berbahagia,
Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.
Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.
Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.
Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Para hadirin yang berbahagia,
Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini?
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru".
Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari "added cost". Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan kita.
Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.
Para hadirin yang saya hormati,
Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.
Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.
Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamu ‘alaikum wr wb.
Jakarta 1 Juni 2011
Bacharuddin Jusuf Habibie
Sabtu, 30 April 2011
MANA YANG ENGKAU PILIH? (LUKAS 23:13-25)
Di sini Lukas menceritakan tentang pengadilan Kristus di hadapan Pilatus. Setelah memeriksa Kristus dan sudah menghadapkan Kristus kepada Herodes. Pilatus tidak menemukan kesalahan-kesalahan di dalam diri Yesus. Bahkan Pilatus hendak membebaskanNya. Pada saat itu Pilatus memberikan beberapa pilihan kepada Bangsa Israel, kita dapat melihatnya dalam setiap ayat-ayat di dalam Lukas 23 ini.
1. Untuk memuaskan hati orang banyak, Pilatus mengajukan hukuman fisik bagi Yesus (14-16). Tetapi orang banyak menolaknya (18).
2. Sesungguhnya Pilatus tidak ingin menghukum mati orang yang tidak bersalah, maka sampai tiga kali ia mengajukan tawaran itu (16, 20, 22) dan tetap orang Israel menolaknya.
3. Sesuai tradisi, Pilatus bermaksud melepaskan Yesus pada hari raya orang Yahudi (17). Namun orang banyak malah menuntut hukuman penyaliban atas Yesus (18, 21, 23).
4. Mereka memilih Barabas yang dilepaskan (18). Padahal Barabas adalah seorang pemimpin pemberontakan terhadap Roma (19), karena itu seharusnya Pilatus tidak melepaskan dia.
5. Sampai tiga kali Pilatus mengulangi tawaran untuk menyiksa Yesus. Namun karena kuatir terjadi keributan yang bisa membahayakan jabatannya, akhirnya Pilatus memutuskan untuk memenuhi tuntutan mereka (24). Ia melepaskan Barabas, seorang narapidana dengan dakwaan pemberontakan dan pembunuhan, serta menyerahkan Yesus, yang tidak bersalah, untuk dieksekusi (25).
Paling menarik disini adalah pilihan bangsa Israel kepada Barabas untuk dibebaskan dibandingkan Yesus. Kita dapat melihat di sini Lukas memberikan analaogi yang sangat menarik yaitu sebuah pilihan:
· Yesus yang diidentikkan sebagai Anak Bapa
· Barabas yang juga berarti “anak Bapa” dalam bahasa Ibrani (Bar: Anak; Abba: Bapa).
Ini bisa dilihat sebagai Bangsa Israel lebih memilih “anak Bapa” yang penuh dengan kedengkian, egosentrisme, kejahatan dibandingkan Yesus sebagai Anak Bapa yang penuh dengan kebaikan, kelemahlembutan, Mesias yang hidup. Bangsa Israel yang sebagai umat pilihan menolak Mesiasnya demi kepentingan diri sendiri. Sebagian bangsa Israel menolak kemesiasan Yesus karena hidupnya sudah mapan dan tidak mau mendengarkan kabar sukacita. Mereka lebih suka memegahkan diri sendiri dan tidak mau berubah. Mereka memilih Barabas yang dibebaskan sebagai sebuah bentuk penolakan akan Juruselamat mereka.
Situasi di dalam pengadilan tahap akhir itu sungguh mengerikan dan bisa dikatakan 'gila-gilaan'. Tergambar dengan jelas bahwa manusia telah kehilangan akal sehatnya dan kehilangan nilai- nilai luhur yang seharusnya ada dalam hati nuraninya. Betapa tidak, dalam pengadilan itu terungkap dengan jelas bahwa manusia secara terang-terangan sengaja menolak dan melenyapkan Kebenaran dengan segala risikonya, untuk berpihak dan mempertahankan dusta. Tiga kali Pilatus mengajukan usul untuk membebaskan Yesus dengan kompensasi-kompensasi tertentu, seperti Yesus dihajar terlebih dahulu baru dibebaskan, karena Ia terbukti tidak bersalah. Namun demikian, hal itu tidak dapat memuaskan nafsu dan meredam niat mereka untuk melenyapkan Yesus. Yang lebih tragis lagi, mereka lebih memilih hidup bersama dengan seorang penjahat besar seperti Barabas, daripada harus hidup bersama Yesus yang selama hidup-Nya telah banyak menolong masyarakat, membawa perbaikan sosial bagi masyarakat, dan mengajarkan prinsip-prinsip moral yang sesuai dengan firman-Nya. Segala perbuatan baik yang dilakukan Yesus dianggap sampah dan lebih buruk dari seorang pemberontak dan pembunuh besar.
MANAKAH YANG ENGKAU PILIH? Menjadi sebuah bentuk pertanyaan kepada diri kita sendiri. Apakah kita sebagai pengikut Kristus lebih memilih “Barabas” sebagai sikap hidup kita atau memilih “Kristus” sebagai pedoman hidup kita?
TENTUKAN PILIHANMU DARI SEKARANG...
Ecclesia reformata semper reformanda
Sabtu, 23 April 2011
Tanda-tanda orang kecanduan twitter
Metrotvnews.com: Bagi sebagian orang, Twitter adalah bagian dari kehidupan mereka. Asalkan tidak sampai kecanduan dan melakukan mayoritas hal di bawah ini, kamu masih dianggap sebagai pengguna Twitter yang sehat dan normal. Hal-hal apa sajakah itu? Berikut daftarnya.
1. Merasa berapi-api saat seseorang mem-follow kamu di Twitter.
2. Merasa akhir dunia telah datang ketika tiba-tiba Twitter error atau tidak bisa diakses.
3. Memohon-mohon pembaca blogmu untuk mem-follow di Twitter-mu. Tak sampai di situ saja, kamu juga memohon-mohon follower-mu untuk me-Retweet (RT) tweet yang kamu posting.
4. Memposting lebih banyak tweet daripada postingan blog kemudian beralih dari full time blogger menjadi full time tweeter.
5. Menurutmu, menghabiskan sepanjang hari di Twitter akan memberimu alasan bahwa kamu telah melakukan service yang memuaskan pada follower-mu. Untuk itu kamu tak harus pergi ke kantor.
6. Lebih sering ngetweet daripada melakukan kerjaan kantor.
7. Merasa berbunga-bunga tatkala ada yang nge-Retweet (RT) tweetmu.
8. Selalu mencari (search) nama Twittermu dan tweet-tweetmu di pencarian real time Twitter.
9. Rajin me-refresh halaman Twitter setiap detik guna membaca tweet-tweet baru.
10. Menyertakan profile Twitter di signature email alih-alih alamat blog.
11. Mencetak ID Twittermu di kartu nama.
12. Mengeset Twitter di home page browser.
13. Menempelkan peringatan di pintu kantor yang berbunyi: “I am on Twitter, don’t disturb”.
14. Memakai lebih dari 5 Twitter client.
15. Menambahkan nama Twittermu di Google alert hanya untuk mengetahui apa yang dibicarakan orang-orang tentang dirimu.
16. Ngeblog tentang aplikasi Twitter dengan rajinnya.
17. Memasang status “Follow me on Twitter” di Gtalk atau Yahoo Messenger.
18. Menggunaan Twoogle untuk melakukan pencarian di Google dan Twitter.
19. Selalu membujuk anggota keluarga lain untuk membuat akun Twitter.
20. Memfollow banyak orang saat #FollowFriday
21. Mengenalkan dirimu sebagai Tweeter/Twips/pencandu Twitter alih-alih sebagai pengusaha.
22. Tergila-gila tentang Twitter dan mengiklankan dirimu di mana-mana agar orang-orang mem-follow kamu.
23. Meminta istri bosmu untuk mem-follow kamu.
24. Menambahkan ID Twitter di plat rumah.
25. Mengirimkan SMS ke teman-teman agar mereka mem-followmu.
26. Menanyakan seputar Twitter alih-alih pertanyaan seputar pekerjaan ketika melakukan sesi interview.
27. Mengancam istri atau suami untuk membuat akun Twitter atau perceraian akan terjadi.(Sumber: Quickonlinetips/Internet Sehat/DOR)
Rabu, 20 April 2011
Doa Bagi Bangsa
Naskah Doa Bagi Bangsa oleh Pdt. DR. A. A. Yewangoe (Ketum PGI)
Dalam ibadah "Doa Bagi Bangsa", sebuah aksi damai dan kepedulian kepada Bapos GKI Taman Yasmin, Pdt. DR. A. A. Yewangoe diminta memanjatkan Doa Bagi Bangsa. Ibadah tersebut dilaksanakan di depan Istana Negara pada 17 April 2011 pukul 13.00 WIB. Acara ini diselenggarakan oleh Forum Bhinneka Tunggal Ika (FBTI).
Berikut ini adalah naskah Doa Bagi Bangsa yang dipanjatkan oleh Pdt. DR. A. A. Yewangoe:
Bapa kami yang di Sorga,
Kami bersyukur sebab Engkau menganugerahkan Tanah Air yang indah kepada kami, Indonesia Raya. Di dalamnya berdiam umat-Mu yang terdiri dari berbagai suku, ras, etnis, dan penganut agama yang berbeda-beda. Kami yakin ini adalah anugerah-Mu agar kami mampu menjalin persahabatan dan keintiman satu sama lain. Bahwa adanya perbedaan-perbedaan di antara kami, tidak usah harus dipandang sebagai cacat. Sebaliknya, perbedaan-perbedaan itu dilihat sebagai kekayaan bersama guna berjalan bersama di dalam perjalanan sejarah bangsa kami. Kenyataan inilah yang secara arif dilihat oleh para pendiri bangsa kami, sehingga mereka menciptakan semboyan: Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua adanya. Pancasila, Engkau anugerahkan kepada kami bukan sekadar sebagai ideologi bangsa, tetapi sebagai payung besar, yang di bawah naungannya kami boleh hidup bersama. Indonesia adalah Rumah Bersama bagi kami.
Dengan penuh pengakuan dosa, kami ingin menyampaikan ya Bapa, bahwa dalam bulan-bulan terakhir ini kami mengalami hal-hal yang tidak sesuai dengan cita-cita luhur itu. Kecenderungan menyeragamkan segala sesuatu hampir menjadi bagian kehidupan sebagian anak bangsa ini. Maka pemaksaan kehendak dialami di beberapa tempat di negeri kami ini. Kami mohon kiranya Engkau menghindarkan bangsa kami dari cara berpikir sempit seperti ini. Kami mohon Engkau memberi pencerahan kepada seluruh bangsa kami, bahwa kesatuan sejati justru dibangun di atas pengakuan bahwa kami berbeda dan beraneka ragam.
Izinkanlah ya Tuhan, kami berdoa pada kesempatan ini untuk Pemerintah bangsa kami, mulai dari yang tertinggi hingga yang paling dasar. Kami yakin Engkaulah yang memberi kuasa kepada mereka untuk menegakkan keadilan, guna mengayomi seluruh bangsa kami tanpa memandang suku, etnis, ras, dan agama. Biarlah mereka benar-benar menjalankan amanat ini dengan benar, sehingga keadilan-Mulah yang direfleksikan, bukan sekadar kemauan mereka. Mereka telah bersumpah untuk menjunjung tinggi Konstitusi Negara kami, di mana di dalamnya kebebasan menganut agama dan beribadah dijamin sepenuh-penuhnya. Tolonglah kami untuk menegakkan Konstitusi tersebut, apapun taruhannya. Biarlah mereka tidak menaklukkan diri ke bawah kemauan sekelompok orang yang belum tentu sesuai dengan roh Konstitusi kami.
Kami mohon agar pemerintahan kami berjalan baik, suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun kewibawaan itu hanya ada apabila mereka benar-benar konsisten dengan sumpah mereka untuk menegakkan Konstitusi, untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biarlah mereka menyadari bahwa melalaikan amanat ini sama dengan pengingkaran terhadap Konstitusi.
Secara khusus kami ingi berdoa bagi Walikota Bogor yang mengemban tugas yang tidak ringan, melayani masyarakat yang sangat majemuk ini di dalam juridiksi pemerintahannya. Biarlah Walikota kami ini mampu menjalankan kekuasaan dengan adil, menjunjungi tinggi kebebasan beribadah dan beragama sebagaimana diamanatkan di dalam Konstitusi kami. Biarlah pencerahan yang dari Engkau ada padanya, sehingga ia mampu mengambil keputusan yang adil dan menyejukkan bagi semua pihak. Dalam kaitan dengan GKI Yasmin, biarlah ia diberi kemampuan untuk menaati keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung RI dengan mengizinkannya melaksanakan lagi kebaktian di tempat mereka.
Pada akhirnya kami ingin berdoa bagi seluruh rakyat Indonesia yang tetap berjuang guna melanjutkan kehidupannya. Bagi sebagian besar bangsa kami, kehidupan tidak selalu mudah. Mereka masih terus berjuang untuk mengatasi kemiskinannya. Mereka masih tetap berjuang untuk memperoleh keadilan, betapapun kecilnya. Biarlah bangsa kami tidak berputus asa. Sebaliknya, berikanlah selalu perasaan optimisme dan pengharapan, bahwa hari esok selalu lebih baik dari hari ini. Di dalam pengharapan itu kiranya bangsa kami menjadi bangsa yang besar, bukan karena jumlah penduduknya, tetapi karena sumbangannya yang berharga bagi kemanusiaan.
Dengarkanlah doa kami. Di dalam Yesus Kristus kami menyampaikan doa ini. Amin.
Sumber http://pgi.or.id/article/67425/naskah-doa-bagi-bangsa-oleh-pdt-dr-a-a-yewangoe-ketum-pgi.html
Ibadah di depan Istana Negara (GKI Taman Yasmin)
Pada Minggu Palmarum ini, Bapos GKI Taman Yasmin Masih Beribadah di Jalan
Pada Minggu Palmarum, 17 April 2011, Bapos GKI Taman Yasmin masih beribadah di ujung Jl. KH. Abdullah Bin Nuh. Beberapa wakil jemaat bernegoisasi dengan pemimpin polisi yang bertugas memblokir jalan tersebut meminta izin untuk masuk, tetapi polisi tersebut menolaknya. Meskipun ditolak, jemaat akhirnya menggelar ibadah di ujung jalan tersebut dengan penuh hikmat dan semangat. Ibadah ini dihadiri sekitar 100 orang jemaat.
Setelah selesai ibadah di jalan, jemaat tersebut akan melanjutkan acara "Doa Bagi Bangsa" di depan Istana Negara pada pukul 13.00 WIB untuk menuntut toleransi dan kebebasan beribadah dan beragama. Sekitar pukul 10.00 WIB, mereka berangkat bersama dengan rombongan dari GKI Pengadilan, HKBP Kota Bogor, Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat, dan Gereja Katolik di Bogor.
Menurut Bona Sigalingging, Juru Bicara Bapos GKI Taman Yasmin, Bogor, mengatakan: "Di Jakarta, pihaknya akan bergabung dengan GKI yang ada di Jakarta, HKBP, GP Ansor, Wahid Institute, Setara Institute, dan perwakilan keluarga Abdurrahman Wahid. Kami akan melakukan ibadah "Doa Bagi Bangsa", yang akan dipimpin Pendeta Ujang Tanusaputra, kemudian akan dilakukan orasi dari perwakilan lintas iman."
Selanjutnya Bona mengatakan bahwa ada tiga hal yang diminta dalam acara tersebut:
- Agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih untuk menyelesaikan persoalan Bapos GKI Taman Yasmin.
- Menegakkan kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah di seluruh Indonesia.
- Mendesak negara menegakkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika dari rongrongan kelompok-kelompok yang tidak mau lagi bertoleransi terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain dan ingin menggantikan dasar negara dan konstitusi negara.
Langganan:
Postingan (Atom)