Ini adalah
kisah saya sekitar tahun 2006 dimana saya masih menjadi mahasiswa tingkat tiga
di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Pada
Senin pagi yang cerah dimana saya akan pergi menuju ke kampus. Saya seperti biasanya menunggu bis Patas 67
di halte Gunung Sahari. Pada pagi hari
itu, saya melihat banyak sekali orang-orang yang mulai beraktivitas untuk pergi
ke kantor, sekolah, dan pedagang yang mulai menjajakan barang dagangannya.
“Rokok,
rokok, aqua-aqua, mizone..mizone”
kata-kata yang sudah biasa saya dengar di pagi hari
Kemudian
terdengarlah suara bis yang mendekat secara perlahan menuju halte di mana saya
berada. Bis ini berwarna putih kusam, cat yang sudah mengelupas di mana-mana,
dan kaca jendela yang sudah mulai hilang tidak berada di tempatnya
“Senen-Blok
M, Senen Blok M” teriak seorang kenek
bis tersebut.
Itulah
pertanda bis yang saya tunggu sudah tiba. Kemudian saya melangkahkan kaki saya
untuk menaiki bis tersebut dan menuju kampus saya.
Saat itu
kondisi bus dalam keadaan penuh dan hanya tersisa satu tempat saja di bagian
depan. Kemudian saya menuju ke tempat
duduk yang saya tuju. Saya melihat
sekeliling saya, ada seorang pria yang duduk sambil menatap kosong ke luar
jendela, ada seorang bapak yang sibuk dengan kertas-kertas kerjanya, dan ada
anak-anak sekolah yang berbincang menegenai pelajaran sekolah pada hari
ini. Tepat di belakang tempat duduk saya
duduklah seorang wanita yang cantik, bau parfumnya mungkin dapat dicium dari
sepuluh
meter.
meter.
Tibalah saya
di tempat duduk yang saya tuju. Saya
melihat di sebelah tempat duduk tersebut ada seorang ibu
berjilbab.“Aduuhhhh...duduk deket ibu-ibu berjilbab lagi, seandainya di sebelah
wanita cantik itu” gumam saya dalam hati.
Ibu itu tersenyum kepada saya dan saya tidak membalasnya. Saya hanya duduk menatap ke depan sambil
mendegarkan lagu dari mp3 player seakan ibu tersebut hanyalah angin lalu.
Sekitar
setengah jam bus ini berjalan, naiklah seorang pengamen yang berbadan kurus,
lusuh, rambutnya panjang tidak teratur, berjenggotan, dan bau. Pengamen itu berdiri di dekat kursi saya dan
saya mulai tidak menyukai keberadaan pengamen itu. *jrennggg..jrengggg* suara gitar mulai
dimainkan,
“Akulah arjunaaaaaa...aaaaa.”
“Gilaaaa.....”kataku
dalam hati.
Saya terkejut dengan suara nyanyiannya.
Terkejut bukan karena terkesima akan suaranya yang seperi Frank Sinatra
melainkan suaranya laksana suara bajaj yang sedang dipacu kencang dan meraung-raung yang luar biasa mengganggu
pendengaran manusia.
“Hawa
tercipta di duniaaaaaaaaaaa........” kembali dinyanyikan oleh pengamen
tersebut.
Suara itu
terus menerus saya dengar sehingga suara musik yang saya dengar di MP3 player
kalah suaranya. Sekitar limabelas menit
kemudian pengamen itu turun setelah meminta uang kepada penumpang-penumpang dan
tentu saja saya tidak memberikan uang kepada pengamen tersebut.
Kemudian saya bergumam kecil “masih muda saja sudah
malas, dasar miskin.”
Gumaman kecil
ini ternyata terdengar oleh ibu berjilbab di sebelah saya.
Lalu dia
menegur saya
“Mas, jika
tidak mau memberi uang kepada pengamen tadi, lebih baik diam saja tanpa harus
menghakiminya.”
Teguran ini
membuat saya terkejut dan menunduk malu.
Belum sempat
untuk memikirkan maksud kata-kata dari ibu yang tidak saya kenal itu
terdengarlah suara
“Proklamasi
proklamasi....” teriak kenek bis,
Pada saat itu
saya menyadari bahwa saya telah tiba di dekat kampus saya. Setelah turun dari bis tersebut dan menuju ke
kampus, akhirnya saya dapat merenungkan setiap teguran yang diberikan oleh ibu
yang tidak saya kenal itu, dan anehnya saya tidak marah terhadap beliau
melainkan mengucapkan syukur kepada Tuhan bahwa telah ditegur olehnya yang
tadinya saya anggap remeh. “Terima kasih
Tuhan akan teguranMu kepadaku... saya harus menghargai setiap manusia dari ibu
yang berjilbab sampai seorang pengamen”
ucapanku saat memasuki gerbang STT Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar