I. Pendahuluan
Pembebasan! Kata ini mempunyai makana yang sangat dalam jika dihubungkan dengan masyarakat. Mengapa? Karena kata ini merupakan suatu usaha untuk membebaskan atau melepaskan diri dari suatu kukungan sehingga seseorang dapat mandiri. Kata ini sering dihubungkan dengan Teologi di mana Teologi Pembebasan merupakan cara yang ditempuh orang-orang terpinggirkan untuk membebaskan diri dari cengkeraman penguasa.
Teologi Pembebasan merupakan usaha kontekstualisasi orang-orang Kristen terhadap lingkungannya. Usaha kontekstualisasi melalui teologi pembebasan sering dianggap sebagai suatu upaya pembangkangan orang-orang terhadap pihak berkuasa, sehingga banyak terjadi musibah seperti pembunuhan enam dosen di El Salvador. Padahal, teologi pembebsan membuat masyarakat mengerti siapa mereka dan apa yang harus dilakukan mereka untuk mencapai hak-haknya sebagai manusia.
II. Apa itu Teologi Pembebasan
Apa itu Teologi Pembebasan yang membuat banyak perhatian bukan hanya dari kalangan Kristen saja tetapi mencakup segala bidang. Teologi ini mulai berkembang sejak tahun 1960an di Amerika Latin, di mana terjadi pemahaman akan konteks mereka saat itu yaitu kemiskinan. Teologi Pembebasan sebagai batang tubuh dari karya-karya tulis dihasilkan oleh tokoh-tokoh teologi pembebasan sejak tahun 1970 diantaranya adalah Gustavo Guiterrez (Peru), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria, dll.
Beberapa ajaran dasar yang terdapat dalam suatu Teologi Pembebasan yang terpenting adalah:
1. Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa struktural.
2. Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas.
3. pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan.
4. pengembangan basis-basis kelompok masyarakat Kristen di kalangan orang miskin sebagai suatu bentuk baru gereja dan sebagai suatu alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan sistem kapitalis.
5. suatu pembacaan baru terhadap Alkitab memberikan perhatian penting pada bagian Kitab Keluaran sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak.
6. Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama (jadi bukan ateisme)
7. sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari keselamatan Kristus, kerajaan Tuhan.
8. kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda dimana sejarah kemanusiaan dan ketuhanan memang berbeda tetapi tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Di dalam Teologi Pembebasan, gereja-gereja diajak untuk “bersuara.” Dulu gereja-gereja hanya bungkam terhadap ketidakadilan yang terjadi terhadap rakyat kecil. Sekarang, Gereja-gereja semakin membela kepentingan kaum-kaum marginal melawan kesewenang-wenangan pemerintah.
Pada tahun 1971, dengan terbitnya karya Guiterrez, seorang Yesuit dari Peru, teologi pembebasan benar-benar lahir. Dalam bukunya Liberation Theology-Perspectives, Guiterrez mengajukan berbagai gagasan anti-kemapanan. Guiterrez melihat bahwa penyelamatan bukanlah suatu upaya pribadi melainkan komunal atau publik. Baginya kaum miskin bukan menjadi sasaran belas kasihan melainkan harus menjadi subjek yang memperjuangkan kebebasan mereka. Gustavo Giterrez melihat bahwa kaum miskin dimiliki oleh setiap kelompok, Ras, Kelas, Budaya, dll. Kaum miskin merupakan produk dari sistem kekuasaan yang berlaku untuk kepentingan pribadi. Kaum miskin merupakan orang-orang yang terbuang di tanahnya sendiri.
Teologi Pembebasan telah memakan banyak martir seperti Monsinyor Romero yang menentang junta militer di El Salvador. Beliau dibunuh oleh pasukan pemerintah akibat seruannya kepada masyarakat untuk ikut serta menghentikan penindasan yang dibuat oleh pemerintah pada saat itu. Jon Sobrino pun mendukung Romero dengan mengatakan bahwa Gereja harus menjadi saksi di dalam sejarah kehidupan dalam segala situasi.
III. Kemiskinan sebagai Konteks Teologi Pembebasan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kemiskinan menjadi konteks teologi pembebasan. Menurut Banawiratma, teologi pembebasan adalah sebuah teologi yang berorientasikan kerakyatan. Menurut beliau, arah dasar teologi pembebasan adalah pembebasan kaum miskin dan tertindas. Pembebasan ini berarti secara menyeluruh baik di bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Kemiskinan terjadi di mana-mana terutama pada dunia ketiga yang seringkali menjadi objek sistem kapitalisme. Kemiskinan ini terjadi akibat pemerintah yang tidak dapat melindungi rakyatnya dari sistem kapitalisme, bahkan pemerintah mendukung sistem tersebut. Kemiskinan dalam dunia ketiga seringkali diterima dengan sikap fatalistis dan seringkali didukung oleh keyakinan-keyakinan agama tertentu. Selain itu, fakta menyatakan bahwa akibat kolonialisasi, negara-negara yang dijajah masyarakatnya menjadi miskin baik mental maupun materi.
Kemiskinan seringkali merupakan masalah fundamental, namun pemerintah tidak pernah memberantasnya. Pemerintah seringkali bertindak arogan dengan mengusir paksa kaum miskin dari daerah tempat tinggalnya untuk mendirikan bangunan atau mal yang mendatangkan keuntungan bagi pejabat-pejabat teras. Pemerintah menciptakan kemiskinan struktural di mana orang yang telah berada dalam lingkungan tersebut sulit untuk keluar dan bebas dari kemiskinan itu.
Keprihatinan sosial telah menjadi titik tolak teologi dan komitmen pelaku refleksi iman. Kemiskinan merupakan masalah sosial, maka teologi pembebasan telah menjadikan kemiskinan sebagai keprihatinan sosial dan harus dilakukan secara bersama-sama. Teologi pembebasan yang berusaha membebaskan manusia dari konteks kemiskinan yang dilakukan dari pihak profesional hingga yang awam akhirnya menjadi fides quaerens intellectum dan sekaligus fides quaerens liberationem yaitu refleksi iman yang menuntut penalaran yang masuk akal dan sekaligus menuntut tindakan pembebasan yang konkret. Oleh karena itu konteks kemiskinan haruslah menjadi keprihatinan sosial dan iman dalam usaha untuk memanusiakan manusia yang terpinggirkan agar mau menjadi subjek.
Menurut Ignacio Ellacuria, salah satu cara pemecahan masalah kemiskinan dan penindasan ini adalah:
1. tindakan mempertimbangkan dengan serius pemikiran dan pendekatan yang diusulkan oleh gerakan teologi pembebasan tentang masalah itu.
2. Diperlukannya suatu usaha istilah dan uraian teologis baru untuk mendiskusikannya secara mendalam dan menyeluruh.
IV. Teologi Pembebasan Sebagai Jalan Kontekstualisasi Masa Sekarang
Kemiskinan dan Teologi Pembebasan saling terkait. Teologi Pembebasan merupakan keprihatinan sosial dari sekelompok orang tentang masalah-masalah kaum marginal. Kemiskinan terjadi di mana-mana dan hampir setiap negara dunia ketiga mempunyai masalah ini. Selain karena fatalitas dari orangnya, sistem yang dibentuk dalam masyarakat ikut mempengaruhi pengertian mengenai kemiskinan. S.A.E Nababan mengatakan bahwa kemiskinan di Indonesia merupakan “kekurangan dalam segala hal.” Kemiskinan adalah akibat dari ketergantungan pada suatu lingkungan ketidaksanggupan dan ketidakmampuan, dan lingkungan keterbelakangan, kebutaan dan kelumpuhan. Oleh karena itulah, manusia yang terkungkung dalam kemiskinan struktural memerlukan sang pembebas. Untuk itulah Teologi Pembebasan dikembangkan.
Teologi Pembebasan yang menitikberatkan pada kaum miskin (Banawiratma) telah menjadi suatu usaha untuk membebaskan manusia. Teologi Pembebasan perlu menjadi sebuah identitas kebudayaan dalam dunia ketiga di mana pemribumian teologi pembebasan berdasarkan pengalaman manusia. Sebagai salah satu contoh kontekstualisasi, teologi pembebasan juga harus memperhatikan Tradisi juga perubahan sosial.
Teologi Pembebasan adalah satu jalan untuk mebebaskan manusia, selainitu orang-orang diberikan rasa untuk peka terhadap sesama manusia. Setiap orang merasa saling menghargai dan mau untuk membebaskan orang-orang dari kemiskinan struktural. Teologi pembebasan merupakan jalan yang harus ditempuh untuk membebaskan manusia yang tertindas, namun bukan dengan cara anarkis melainkan dengan cara melakukan dialog dengan pihak penguasa. Selain itu gereja-gereja juga mampu untuk kritis terhadap keadaan di luar. Gereja harus berani bersuara jika melihat bentuk ketidakadilan dalam lingkungan sekitar.
V. Simpulan dan Refleksi
Teologi pembebasan merupakan sarana yang baik sebagai usaha kita untuk mngkontekstualisasikan diri kita dengan lingkungan. Di dalam teologi Pembebasan kita diajarkan bagaimana kita harus ikut prihatin terhadap sesama kita yang tersisihkan. Teologi pembebasan merupakan cara agar kaum miskin tidak hanya menjadi objek melainkan sebagai pelaku yang membuat mereka dapat keluar dan menyadari arti kehadiran mereka di dunia ini.
Yesus datang ke dunia bukan untuk menolong orang-orang kaya melainkan untuk menjadi berarti bagi sesama. Dalam kehidupanNya Yesus-lah yang meletakkan dasar-dasar Teologi Pembebasan dimana Dia menentang sistem yang berlaku pada saat itu yang menyisihkan kaum marginal. Yesus datang untuk memanusiakan manusia, Dia berkorban untuk manusia agar manusia juga mau berkorban demi orang lain. Melalui Teologi Pembebasan inilah kita diuji bagaimana menjadi manusia yang “care” terhadap sesama kita.
Gereja-gereja yang selama ini diam harus berani mengangkat suara, walaupun keberanian angkat suara itu mempunyai resiko. Namun, Yesus telah menunjukkan bahwa Dia berani berkorban dan bersuara untuk orang-orang tertindas. Seharusnya Gereja sebagai saksi Allah di dunia, mengikuti keteladanan Yesus yang taat sampai mati. Jangan sampai Gereja memihak penguasa yang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
SUMBER BACAAN
Banairatma, J. B dan J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Budi,Hartono. Teologi, Pendidikan & Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Evans, Stephen B. Models of Contextual Theology. New York: Orbis Books, 1992.
Lowy, Michael. Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Torres, Sergio and John Eagleson (ed.). The Challenge of Basic Christian Communities. New York: ORBIS BOOKS, 1982.
Yewangoe, A. A. Theologia Crucis di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.